Opini: Menanti Bahaya Besar, Dari Dampak Sumur Bor

Pdt. I Bangngu, S.Th

Pdt. I Bangngu, S.Th

Tokoh Agama Asal Sabu Raijua di Kupang

 

Kupang, Pelopor9.com - Betapa tidak, hampir seluruh wilayah di NTT sedang mengahapi kekeringan panjang. Ini sebagai dampak dari minimnya curah hujan di hampir semua wilayah di NTT. Masyarakat diperhadapkan dengan krsulitan air bersih.

 

Saat ini, sebagian orang yang punya duit terpaksa mengandalkan sumur bor. Walaupun biaya satu sumur bor mencapai angka puluhan juta rupiah. Teknologi jenis ini, sudah banyak diaplikasikan baik untuk kebutuhan manusia, maupun kebutuhan lahan pertanian.

 

Potensi bahaya dari sumur bor adalah, eksploitasi yang besar dari air tanah sehingga menimbulkan rongga besar di perut bumi. Rongga ini tercipta akibat berkurangnya air tanah lebih cepat dari pengisian kembali. Hingga hari ini, air masih menjadi masalah serius sebagain besar wilayah NTT, termasuk di sabu raijua. Mengapa..?

 

Penyebabnya adalah tidak banyak sumber mata air yang ada di daerah ini. Selain minimnya sumber mata air, sarai juga adalah daerah yang curah hujannya sangat rendah.

 

Dari data BPS menunjukan bahwa jumlah hari hujan di NTT pada tahun 2015 adalah 82 hari, nomor urut 3 terendah, dari 34 provinsi di Indonesia. Dengan jumlah curah hujan sebesar 1406 mm berdasarkan pengukuran oleh stasiun BMKG di Lasiana – Kupang.

 

Untuk Kabupaten Sabu Raijua sendiri,  jumlah curah hujan pada tahun tersebut sebesar 889.6 mm. Apalagi, jikalau dibanding dengan curah hujan tahun lalu yang sangat minim. Dari data curah hujan tahun 2015.

 

Hal ini mendorong sebagian wilayah di Sabu Raijua (Sarai) berupaya memenuhi kebutuhan air bakunya dengan mengambil air dari dalam tanah. Masayarakat bisa mendapatkan air dari sumur yang digalinya sendiri.

 

Biasanya, sumber air tanah dangkal ini bisa didapatkan pada kedalaman hanya 7 hingga 12 meter. Namun yang menarik akhir-akhir ini adalah menjamurnya sumur bor. Tentu sumur bor menjadi pilihan bagi daerah yang sumber airnya lebih dalam dari sumur dangkal.

 

Kini Sumur bor, sedang menjafi andalan masyarakat akibat kekeringan panjang. Sumur bor ini menjadi startegi jangka panjang untuk masyarakat fi beberspa daerah termasuk wilayah Sarai. Pertanyaannya dari mana asal air dalam tanah..?.

 

Air tanah dalam, biasanya bersumber dari aliran air dari gunung, atau resapan air hujan, yang masuk kedalam tanah lewat proses-proses hidrologi. Air tanah dalam, digunakan oleh pepohonan  untuk proses fotosintesis. Selain itu, air tanah dalam adalah juga penyanggah permukaan tanah agar tidak ambles atau longsor.

 

Beberapa sumber penelitian, tentang berkurangnya air dalam perut bumi. Misalnya; fi Jakarta saja; Syamsu Rosid, peneliti dari Universitas Indonesia, seperti dikutip oleh liputan6.com pada tanggal 04 Desember 2018 mengatakan bahwa hampir sebagian besar wilayah di Jakarta mengalami penurunan permukaan tanah, apalagi di NTT atau di SARAI. “

Laju penurunan rata-rata sekitar 11 senti meter per tahun,” kata Syamsu berdasar pada hasil penelitian mikro gravitasi empat dimensi antara tahun 2014-2018 yang dilakukannya. Fenomena ini, tambah Syamsu, kemungkinan disebabkan oleh ekspliotasi air tanah yang berlebihan.

 

Tirto.id  pada 19 Desember 2019, menulis bahwa lebih dari 17.000 mill persegi di 45 negara bagian USA telah mengalami kasus tanah amblas. Hasil penelitian geologi Amerika US Geological Survey mengkonfirmasi bahwa 80 % kasus ini disebabkan oleh eksploitasi air bawah tanah.

 

Eksploitasi air tanah dalam secara berlebihan menyebabkan pergeseran bebatuan yang menyanggah permukaan tanah, yang kemudian mengakibatkan tanah mudah amblas.

Sabu sedikit beruntung karena bukan daerah gempa bumi. Sebab gempa bumi juga sangat berdampak terhadap air dalam tanah/perut bumi.

 

Contoh daratan Flores Timur adalah daerah yang rawan gempa. Getaran yang ditimbulkan akibat gempa tentu membuat tanah semakin tidak stabil. Eksploitasi air tanah dalam yang berlebihan ditambah gempa bumi yang sering melanda Flores Timur bisa menjadi bahaya yang sangat serius di masa depan.

 

Dalam konteks Sabu Raijua, haruskah Sumur Bor dilarang..? Jika dilarang, bagaimana caranya mengatasi  kekeringan dan kekuarangan air di sebagian besar wilayah ini..? Namun jika dibiarkan tanpa diatur bisa saja ini menjadi bahaya yang lebih besar. Ibarat makan buah simalakama.

 

Yang paling penting adalah bagaimana menemukan solusi paling ideal dengan resiko sekecil-kecilnya untuk mengatasi kekeringan dan kelangkaan air baku di Sarai.

 

Persoalan air baku jika mau disederhanakan, hanya menyangkut dua hal utama yaitu : Pertama: sumber air, dan yang kedua :  bagaimana mendistribusikan air tersebut. Sumur Bor adalah salah satu sumber air baku.

 

Selain itu ada sumber air dari  mata air dan air hujan.  Sumber air baku lainnya adalah dengan teknologi kondensasi terbaru mengubah udara menjadi air.

 

Penggunaan sumur bor untuk mendapatkan air baku bisa ditekan dengan memanfaatkan air permukaan. Maka mata air harus dilestarikan. Pelestarian daerah mata air untuk menjamin volume air tetap mencukupi kebutuhan masyarakat.

 

Memelihara dan menjaga mata air, penting berdasarkan kearifan-kearifan lokal. Dengan upaya memelihara dan menjaga mata air sama juga dengan menjaga masuk keluarnya air dalam perut bumi. Jika bumi ini memerlukan air apatah lagi manusia..?

 

Di sini menarik untuk direnungkan riwayat penciptaan langit dan bumi dan terakhir manusia. Manudia diciptakan dari tanah atau debu. Tanah atau bumi ini memerlukan air, karena itu air dalam tanah punya kegunaan tersendiri untuk bumi ini.

 

Bukankah tubuh manusia, juga membutuhkan air dalam tubuhnya..? Menurut Nilai Rujukan Gizi, memberi saran agar pria dewasa minum air sebanyak 2,6 liter per hari (sekitar 10 cangkir) dan perempuan dewasa harus minum 2,1 liter per hari (sekitar delapan cangkir sesyai ukuran rata-rata berat badan).

Penhy Taylor dari Lembaga Penelitian Australia (CSIRO) mengatakan bahwa aturan praktis yang baik adalah 35 mililiter cairan dikali dengan per kilogram berat badan.

 

Lebih menarik lagi, kalau rujukan hitungan ini kita hubungkan dengan penciptaan bumi dengan segala isinya dan lalu terakhir manusia sebagaimana kesaksian Alkitab bahwa manusia diciptakan dari tanah, tubuh ini berasal dari tanah, maka sebagaimana tanah butuh air demikianlah juga tubuh manusia butuh air. Bayangkan kalau tubuh manusia kekeringan air..?

 

Untuk daerah, yang tidak ada mata air maka sangat dianjurkan untuk memiliki penampungan air hujan dalam jumlah yang cukup. Pemda Sarai dapat membantu masyarakat agar memiliki bak penampungan air hujan di setiap rumah dan bangunan public lainnya.

 

Dimulai dari bangunan-bangunan milik pemerintah. Penampungan air hujan tentu memiliki resiko yang lebih kecil dibandingkan dengan sumur bor. Selain penampungan air hujan untuk kebutuhan air baku bagi manusia, pemerintah juga sudah saatnya memikirkan pembangunan embung, untuk kebutuhan pertanian.

 

Embung butuh di bangun dalam jumlah yang lebih banyak, dan sebaran lebih luas untuk menampung air hujan. Sumber dana pembangunan embung bisa dialokasikan dari dana desa. Jika memungkinkan, aplikasikan teknologi menangkap air dari udara (kondensasi) perlu diterapkan.

 

Tentu dengan mempertimbangkan pendanaan dan efektifitasnya. Teknologi jenis ini sudah banyak diaplikasikan baik untuk kebutuhan manusia maupun kebutuhan lahan pertanian.

 

Lalu apa potensi bahaya dari sumur bor..?.

 

Potensi bahaya dari sumur bor, adalah eksploitasi yang besar dari air tanah sehingga menimbulkan rongga besar di perut bumi. Rongga ini tercipta akibat berkurangnya air tanah lebih cepat dari pengisian kembali. Maka air tanah yang sudah disedot oleh sumur bor sedapat mungkin dikembalikan dengan volume yang sama kedalam tanah.

 

Cara paling efektif mempertahankan volume air tanah adalah mengurangi aliran air hujan langsung menuju laut. Ada banyak cara untuk menahan air hujan agar tidak langsung menuju laut. BUAT SUMUR RESAPAN disetiap rumah warga untuk mencegar aliran air hujan langsung menuju laut.

 

Kemudian membuat sebanyak mungkin lubang bipori . Lubang bipori teruji efektif membantu resapan air kedalam tanah. Manfaatnya akan bertambah  jika lubang bipori  ini diisi dengan pupuk kompos yang tentu dapat meningkatkan unsur hara tanah yang baik bagi lahan pertanian.

 

Salah satu solusi yang paling bermanfaat adalah menggalang masyarakat untuk tanaman bambu secara massif. Tanaman bambu adalah spon alami untuk menangkap sekaligus menahan air hujan, menghijaukan tanah, mendatangkan manfaat ekonomi sekaligus meminimalisir efek merusak dari bencana gempa bumi.

 

Manfaat ekonomi dari tanaman bambu bisa bikin kursi dan perabot rumah tangga lainnya. Selain bambu, galang masyarakat seperti untuk tanam pohon beringin (mediri), kayu putih (G'alla), tibu, g'eddi, kepallu, dan pohon2 lain yg bisa menangkap air masuk dalam tanah.

Catatan : Kalau penghijau dan Cek Dam berhasil dibangun, maka pasti air dalam perut bumi akan tersedia cukup. Dan kalau perut bumi berhasil menampung air yg melimpah, maka akan sangat bermanfaat bagi sumur gali dan kepentingan irigasi lainnya di bidang pertanian.

 

Sarai, disebut IE RAI, menghijau, mengarru merede, hidup yang bekelimpahan, MAKA MURI MADA DO HAWU disebut BER-MARTABAT, maka di sana, di Rai Hawu Miha Ngara ada Helama Tona Ie. Ada damai sejahtera. Itu berarti, alam harus menjadi fokus utama manusia berkarya sebagaimana kejadian dunia dalam Alkitab, baru kemudian manusianya. Karena manusia hidup dari bumi/alam ini.

 

Itulah sebabnya Tuhan Allah menyediakan dahulu langit dan bumi dengan segala kepenuhan, segala isinya, lalu kemudian manusia, supaya manusia mengelolah bumi dan hidup dari isi bumi. Maka Shalom-lah ada di sana. Karena itu adalah keliru kalau pembangunan dimulai dengan matematika pertanian, sementara bumi lagi menderita kekeringan. Apanya yang mau dihitung..? Salom. HAWU MIHA NGARA. (*)