Ketersediaan air, Pangan dan Pande Besi jadi Pergumulan Warga Desa Mehona

Markus Djara Lulu dengan Latar Kegiatan Penanaman Sorgum yang Dilakukan OMB Mira Kaddi Hari

Menia, Pelopor9.com – Hasil sensus penduduk 2020 oleh BPS yang dipublikasi bulan Juli 2024, jumlah masyarakat Desa Mehona Kecamatan Sabu Liae, kabupaten Sabu Raijua sebanyak 873 jiwa. Luas wilayah Desa Mehona sebesar 1,16 km persegi, dimana mayoritas lahan berupa lereng berbukit.

 

Kondisi lahan yang kurang subur dan curah hujan minim berdampak pada hasil pertanian seperti kacang hijau, sorgum dan jagung ikut menurun, sehingga tidak mencukupi penghidupan semusim atau selama setahun.

 

Masyarakat Desa Mehona, Kecamatan Sabu Liae, Kabupaten Sabu Raijua memperoleh tambahan pangan dari bertani garam dan pande besi. Hasilnya dibarter dengan gabah dan gula cair termasuk dibarter dengan ternak dengan warga Desa Delo, Kecamatan Sabu Barat. Sebagian dijual kepada warga Desa Deme, Kecamatan Sabu Liae.

 

“Memang tanam, tetapi tidak bisa mampu untuk hidup satu tahun dengan hasil yang kita tanam itu. Kalau tidak bisa bantu dengan garam itu. Hanya garam saja. Kalau bagian atas pisau parang dengan merantau. Pisau parang pergi tukar padi, ayam, kambing, domba juga”, kata Markus Djara Lulu (61), warga RT.19/ RW.10 Dusun 5 Desa Mehona, Senin (06/09/24). 

 

Tak mudah untuk memperjualbelikan hasil garam, warga berjalan kaki dengan memanggul hasil. Hasil jualan dibarter dengan pangan seperti gula cair, gabah, maupun bahan makanan lain.

 

“Tahun 1980-an warga Mehona menjual garam dengan berjalan kaki sampai Desa Delo untuk ditukar dengan gula”, kata anggota kelompok Organisasi Masyarakat Basis (OMB) Mira Kaddi Hari Desa Mehona binaan Yayasan  Sheep Indonesia ini.

 

Kelompok ini berfokus pada pengembangan Sorgum melalui penanaman, pengolahan pasca panen.

 

“Pikul di periuk tanah itu, dulu dari sana. Termasuk Saya, Saya masih pikul juga dari sana. Baru saya punya mama bilang, tidak boleh berhenti nanti cape. Jalan – jalan terus, baru Saya tidak bisa melawan. Saya mau menangis. Setengah mati kita pikul dari sana”, lanjut mantan kepala desa ini.

 

Pada tahun 1900-an baru ada pengusaha angkutan mobil asal Sabu Barat yang membantu mengantar warga untuk berjualan hasil di Sabu Timur dan Sabu Barat. Dengan menyewa kendaraan untuk menjual hasil garam. Apabila tidak terjual maka warga menginap di Sabu Barat.

 

“Tahun 1989 – 1999, Ada pengusaha dari Seba Sabu yang memiliki kendaraan roda 6 untuk angkut garam jual ke Seba dan Sabu timur. Kalau banyak orang, diantar kalau tidak masyarakat menginap di Seba”, pungkasnya.

 

Dalam perkembangan, masyarakat Desa Mehona meninggalkan usaha bertani garam. Dimana mayoritas menggeluti pande besi dan bertani. Namun keterbatasan curah hujan ketersediaan air membuat petani tidak bisa berbuat banyak.

 

Fasilitas penyediaan air perlu diperbanyak untuk menunjang kegiatan pertanian maupun peternakan. Dengan adanya embung, masyarakat bisa menanam padi. Sejumlah embung yang pernah dibangun telah mengalami pendangkalan yang membuat tampungan air menjadi sedikit.

 

“Embung sudah ada, tetapi Kita masih butuh lagi. Kerja dari 2018 dengan dana Desa. Sudah banyak yang tertutup tanah ke dalam. Baru kita usul ke desa supaya rehab itu, belum bisa jangkau dengan dana”,pungkasnya.

 

Dikatakan, dengan curah hujan yang minim, telah mempengaruhi banyak hal, ketersediaan air minim, petani gagal tanam dan mempengaruhi air nira lontar. Apabila ketersediaan air cukup maka petani dapat menanam sayur – sayuran untuk mendapat penghasilan.

 

“Hujan itu hanya satu kali saja, tidak penuh. Hanya sebagian saja. Satu kali yang hujan besar, bukan yang banjir banyak itu. Masalahnya itu, karena hujan ini. Baru tuak juga tidak bisa muncul tunas, karena kering. Baru kita susah sekarang ini. Baru tanam sayur mau pergi jual, baru air tidak ada lagi”,akunya.

 

Masyarakat Desa Mehona memperoleh penghidupan dari bertani sayur, bawang, dan menyadap nira lontar/ tuak dengan penghasilan terbesar dari pande besi. Hasil pande besi berupa pisau dan parang telah dijual ke pulau Sumba, Ende, dan Larantuka.

 

Sedang, harga penjualan gula tidak mengalami kenaikan selama beberapa tahun terakhir. Sehingga yang mengiris tuak semakin sedikit.  

 

“Bagian sini (red, dusun 5), bawang, sayur saja. Dengan tuak sebenarnya, tetapi sekarang tidak ada. Ada satu dua orang saja yang dapat ini. Ada satu orang saja di Desa Mehona yang iris tuak. Harga juga tidak meningkat, beras sudah naik, tetap gula tetap seperti tahun – tahun dulu”,teranganya.

 

Penghidupan lain adalah dari beternak. Namun terkendala air untuk minum ternak, sehingga warga harus membeli air tangki dengan harga yang mahal.

 

“Yang punya Kerbau juga sekarang bisa hidup. Cukup. Karena harga kerbau juga mahal. Yang punya kerbau ini, jual kerbau beli air kasih minum kerbau”,katanya lagi.

 

Masyarakat Desa Mehona banyak terbantu dengan bantuan sosial dari pemerintah. Hasil dari bertani, pande besi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari.

 

“Sekarang sudah dibantu pemerintah dengan PKH, BLT, bisa sambung juga hidup dari bantuan. Tidak ada jalan lain, hanya garam saja dengan pisau, parang di Desa Mehona ini”,pungkasnya.

 

Dia berharap pemerintah terus memperhatikan usaha pande besi, penyediaan air bersih dan penghidupan lain yang menunjang ekonomi masyarakat seperti pertanian.

 

“Sedikit saja yang pertanian dan kelautan, menjurus Pande Besi di Desa Mehona. Ada juga yang minta galian sumur, embung juga”,harapnya.

 

Usaha pande besi diperhadapkan pada tantangan ekologi dan lingkungan karena pemanfaatan kayu sebagai bahan bakar untuk pembakaran besi dalam membentuk pisau dan parang.

 

Hasil pengamatan, seluruh pengrajin pande besi menggunakan kayu yang diambil dari sekitar kebun warga. Sebagian kayu dibeli dari Sabu Timur dan Sabu Barat. (*R-1/Adv-kerjasama YSI dan Pelopor 9))