Sungai itu Pusat Peradaban

Sepanjang sejarah, banjir yang meluap dari Sungai Benenai secara periodik sejak tahun 1974,, tahun 2000 dan tahun 2010 dengan ketinggian kurang lebih dua meter disikapi secara arif. Tidak ada teriakan, hujatan dan fitnah, karena banjir itu proses alam yang menimpakan resiko, di satu sisi dan rezeki, di sisi lain.

 

Masyarakat, umumnya dan kelompok masyarakat agraris menyikapi secara arif-bijaksana dan bersahabat bukan sebagai timpanan nasib. Benar, bencana alam mencabik belahan bumi. Ini fakta keprihatinan yang perlu diinsyafi. Apakah planet bumi tak layak dihuni? Alam merintih kesakitan. Alam juga butuh penghargaan. Karena, alam dan manusia, bersaudara dan bersahabat. Manusia dan alam, lahir dari "rahim" Sang Pencipta yang satu dan sama (Fredy Buntaran, buku Saudari Bumi Saudara Manusia, Kanisius, 1996).

 

Belakangan ini, fitnah, cemooh, hujat dan teriakan karena banjir dan tanggul belum dibangun. Seolah-olah, ada yang salah ketika banjir itu datang. Banjir merusak lahan pertanian dan pemukiman warga. Rumah warga terendam. Padahal, dulu tidak ada teriakan, karena rumah panggung. Manusia aman di tengah banjir. Lahan pertanian rusak, tetapi menitipkan waktu musim tanam ketiga dengan humus tanah yang subur. Orang dulu tahu, kapan hujan dan kapan banjir sesuai tanda-tanda alam dan kearifan lokal.

 

Sejumlah pertanyaan mencuat. Mengapa orang betah tinggal di daerah aliran sungai (DAS)? Mengapa, banjir itu tidak disalahkan? Dan mengapa kita selalu saling mempersalahkan? Apakah kita pernah menyadari, sungai itu pusat peradaban? Mari kita simak. Kita perlu belajar peradaban besar seperti peradaban Mesir dan Mesopotamia zaman dulu. Karena, sungai sebagai saraba penghubung antar wilayah dan manusia untuk berinteraksi dalam peradaban kuno.

 

Kita juga harus mengakui sebagian besar warga Malaka merasa betah dan tinggal di DAS Benenain. Tidak mau angkat kaki dari kampung-kampung, dusun-dusun di sekitar alur Sungai Benenai karena sumber penghidupan. Masyarakat bertahan tinggal di DAS Benenai, karena optimis dengan hasil pertanian, sumber kehidupan ekonomi, pengembangan pariwisata. Semuanya, demi kesejahteraan manusia. Tanpa disadari, sungai membangun pemukiman, kota dengan peradaban manusia. Di dalamnya, manusia memanfaatkan airnya, irigasi, transportasi dan pariwisata. Sungai menjadi pusat peradaban, karena telah "membesarkan" kehidupan manusia. 

 

Kepada wartawan usai menyerahkan bantuan secara simbolis kepada warga korban banjir di tempat penampungan Panggung Tahbisan Dekenat Malaka Betun, Sabtu (26/2/22), Bupati Malaka, Dr. Simon Nahak, SH, MH mengatakan tanggul yang dibangun di titik Naimana pinggir Sungai Benenai bisa dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan di antaranya olahraga dan hiburan, menjajakan kuliner lokal jika digelar acara yang melibatkan orang banyak. Tanggul itu bisa dipakai sebagai ruas jalan menuju kebun untuk bekerja dalam menafkahi hidup. Bukankah, sungai itu pusat peradaban sehingga jangan kelewatan ada sikap menyalahkan yang lain, ketika kita berpikir dan bertindak tidak sesuai pesona norma, kendali hati nurani dan kearifan iman.*