Ahli Ilmu Tanah, Dr. Ir. I N. Prijo Soetedjo, M.Si (kiri), Plh Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sabu Raijua, Viktor Radamuri (tengah), Perwakilan Yayasan Pikul, Etji Doek (kanan).
Menia, Pelopor9.com - Berkenaan dengan hari ulang tahun Sabu Raijua yang ke-16 tahun 2024 dengan mengusung Thema "Sabu Raijua Hijau Bersinergi untuk Lingkungan Berkelanjutan" maka Pemerintah daerah Sabu Raijua berkolaborasi dengan Yayasan Pikul melaksanakan diskusi bersama tentang Dampak Sumur Bor dan Keberlanjutan penghidupan di Sabu Raijua.
Kegiatan tatap muka berlangsung di Aula Gedung DPRD Sabu Raijua. Sedangkan pertemuan online melalui zoom, Selasa (3/12/2024). Diskusi menghadirkan dua akademisi dan Plh Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sabu Raijua, Viktor Radamuri.
Ahli geologi kepakaran penyusunan dokumen KLHS, DDDT, RPPLH, dan Perumusan Kebijakan Publik, Dr. Herry Z. Kotta, ST., MT dalam pemaparan materi mengatakan bahwa Pulau Sabu dan Raijua tidak memiliki cekungan air tanah atau lapisan akuifer yang cukup untuk dieksplorasi air tanah melalui sumur bor.
"Air tanah tidak dapat ditemukan di setiap tempat. Ada tidaknya air tanah tergantung dari ada tidaknya lapisan batuan yang dapat mengandung air tanah yang disebut akuifer",ujarnya.
Dikatakan, dari peta geologi, Cekungan Air Tanah Nusa Tenggara Timur, Sabu Raijua tidak memiliki cekungan air tanah. Namun beberapa bagian kecil terdapat di wilayah Liae.
Dikatakan, kondisi air tanah di Sabu Raijua perlu dilakukan pengujian penurunan muka air tanah dan kualitas berdasar kriteria atau pedoman yang ada. Apakah kondisi air tanah yang ada dalam kondisi aman, rawan, kritis atau rusak?
"Perlu ada pengaturan zona konservasi air tanah. Zona perlindungan air tanah, zona pemanfaatan air tanah",katanya.
Salah satu model penyediaan air yang cocok dengan kondisi Sabu Raijua adalah menggunakan teknologi KRAH, Kampung Ramah Air Hujan.
"Dasar hukum KRAH adalah Pemen Lingkungan Hidup nomor 12 tahun 2009 tentang pemanfaatan Air Hujan, Permen PUPR tahun 2014 tentang pengelolaan air hujan pada bangunan gedung dan persilnya. Permen Dirjen PDASHL nomor SE-01 Tahun 2021 tentang pembangunan model kampung ramah air hujan",ujarnya.
Lanjutnya, Sabu Raijua merupakan daerah yang masuk dalam kriteria penerapan KRAH, diantaranya memiliki kawasan beriklim kering dan semi kering, kedua adalah kawasan produksi tanaman pangan terbatas.
Ketiga, lahan berlereng dengan kondisi tanahnya buruk sehingga tidak dapat menyimpan air. Keempat, wilayah dengan aliran air sungai pendek, dan kelima daerah pesisir serta pulau kecil.
Sedangkan ahli ilmu tanah, Dr. Ir. I N. Prijo Soetedjo, M.Si dari Universitas Nusa Cendana mengatakan bahwa kondiai tanah di Sabu Raijua tidak memiliki keterbatasan dalam memyimpan air. Sehingga dalam memenuhi kebutuhan air diperlukan langkah yang tepat.
Dimana mengadopsi beberapa teknologi, sumur resapan setiap rumah tangga, pengolahan air hujan. Seperti yang diterapkan di Cina dan Jepang.
"Di Jawa, masyarakat yang hidup di lereng merapi hidup dari air hujan secara turun temurun",katanya.
Dikatakan, eksploitasi air tanah yang berlebihan melalui sumur bor dapat menyebabkan penurunan muka air tanah, longsor, air tanah dapat terkontaminasi, hingga intrusi air laut.
Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan air tanah melalui konservasi di Sabu Raijua adalah pengembangan vegetasi tertentu baik di DAS hulu, tengah dan hilir. Kedua, pengembangan teknologi panen air hujan, ketiga pengembangan sumur resapan.
Sementara, Asisten 1 Setda Sabu Raijua, Titus Bernadus Duri, dalam arahan penutup mengatakan bahwa air harus dikelola secara bijak, efektif untuk keberlanjutan penghidupan di pulau Sabu Raijua.
"Harapan kami akan ada tindaklanjut ke depan, kehadiran sumur bor tidak menjadi ancaman tetapi menjadi solusi",ujarnya.
Sumur Bor maupun sumur gali yang telah terbagun perlu ada pengujian kuantitas dan kualitas air. Sehingga menjadi acuan untuk melakukan tindakan pencegahan dan penanganan di masa mendatang.
Selain, pemetaan ahli geologi, ahli tanah sangat diperlukan untuk mengetahui posisi akuifer yang tepat dalam melakukan tindakan pengeboran.
"Ke depan perlu pengawsan dari kita pemerintah daerah, harus sesuai dengan pemetaan",pungkasnya.
Etji Doek dari Yayasan Pikul mengatakan kgiatan diskusi merupakan langkah penting dalam mengelola sumber daya air dimana PIKUL mengajak masyarakat Sabu Raijua untuk berpikir dan mengambil pilihan berdasarkan paparan materi dari kedua akademisi.
"Kegiatan ini sebenarnya mampu mengedukasi masyarakat. Karena sumur bor yang paling banyak di Sabu Raijua itu adalah sumur bor dengan anggaran mandiri, perorangan, milik warga",harapnya.
Dikatakan, hasil pendataan yaysan PIKUL sampai dengan tanggal 28 Nopember 2024 mencatat terdapat 130 buah sumur bor di Pulau Sabu, baik yang berfungsi maupun tidak berfungsi.
"Pikul yakin, bahwa sebenarnya tidak 130 sumur bor, karena masih banyak yang belum dijangkau karena pengambilan data 3 sampai 5 hari",ujarnya.
Data ini membuktikan bahwa sumur bor dianggap sebagai cara untuk memperoleh air dengan mudah, baik oleh pemerintah daerah maupun masyarakat.
Ke depan, perlu dilakukan kajian - kajian ilmiah dalam pengelolaan sumber daya air di Pulau dan Raijua.
"Kita harapkan ada solusi - solusi cara pengelolaan air di Pulau Sabu. Ketiga, model strategis secara teknis kebijakan daerah untuk mendorong pengelolaan SD air berkelanjutan di Pulau Sabu. Sangat berharap itu di luar dari sumur bor. Karena, dampak - dampak yang disampaikan. Kita harus percaya pada orang yang punya pengetahuan soal itu",katanya.
Diskusi yang sudah berjalan bukanlah yang terakhir. Namun diperlukan diskusi lanjutan dengan semua pihak, baik pemerintah dan pemangku kepentingan serta ahli.
"Pemetari tadi, bersedia melakukan riset lanjutan terkait keberlanjutan kehidupan pulau Sabu",katanya.
Hadir, Pimpinan OPD Se-kabupaten Sabu Raijua, Camat se-kabupaten Sabu Raijua, 10 kepala desa sasaran program GEF SGP (Desa Ballu, Desa Eilogo, Desa Pedarro, Desa Lobohede, Desa Ledeae, Desa Ramedue, Desa Lederaga, Desa Raenyale, Desa Raemude dan Desa Matei).
Organisasi masyarakat sipil, tokoh adat dan media masa. (R-1)