Pariwisata NTT Bukan Sekedar Haram Halal

Ilustrasi: Pantai Motadikin Malaka

Kupang, Pelopor9.com - Keberadaan investasi memang baik untuk mendukung perkembangan pariwisata Nusa Tenggara Timur (NTT). Akan tetapi, jika investasi tersebut merebut ruang untuk mengembangkan perekonomian rakyat di sekitar daerah pariwisata. 

 

Apalagi sampai menimbulkan konflik dan rakyat. Kehilangan nyawa seperti kasus Poro Duka di Sumba Barat, maka investasi tersebut harus ditolak. 

 

Dalam cataan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT, lebih dari 70 persen kawasan pesisir yang merupakan kawasan strategis pariwisata di NTT telah dikuasai oleh investor besar maupun menengah. Kalau ini terus berlanjut, maka mimpi pemerintah provinsi NTT untuk pariwisata kerakyatan hanyalah utopia semata.

 

Demikian pendapat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Eksekutif Daerah NTT, dalam rilis yang diterima redaksi, Senin (27/05/19), yang ditandatangani Rima Melani Bilaut, Divisi Sumber Daya Alam.

 

Rima menegaskan, pemerintah provinsi harus mengembangkan model pariwisata yang berbasis kerakyatan di setiap daerah di NTT. Artinya melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan program-program pariwisata. 

 

"Contoh paling sederhana adalah, memastikan tata kuasa kawasan berbasis masyarakat dan minimal negara. Agar masyarkat dapat membangun fasilitas - fasilitas pariwisata yang kemudian berdampak pada peningkatan ekonomi warga," Ujarnya. 

 

Lanjutnya, hal kedua adalah memberdayakan kios-kios masyarakat lokal, yang menjual hasil produksi masyarakat itu sendiri baik berupa souvenir, tenunan atau masakan khas di daerah pariwisata. 

 

Menurut Rima, terlepas dari konsep pariwisata tersebut halal atau tidak. Intinya masyarakat harus mampu menggaji dirinya sendiri bukan hanya didorong agar digaji oleh pihak investor saja. Dengan kata lain masyarakat harus dibiarkan berdaulat dan berproduksi di atas tanah miliknya sendiri. 

 

Melalui model pariwisata ini, masyarakat akan menjadi penerima manfaat utama dari kegiatan pariwisata sehingga terciptanya kemandirian ekonomi dari masyarakat. Ketika sudah mampu mandiri, masyarakat tentu tidak perlu mencari pekerjaan ke luar negeri dan pulang dalam keadaan tidak berdaya. 

 

"Pariwisata sebagai kekuatan ekonomi baru bukan hanya untuk meningkatkan pendapatan daerah melalui pajak yang datang dari investasi tetapi sebagai kekuatan ekonomi baru bagi rakyat itu sendiri," Pungkasnya (R-1/Tim)