Benyamin Mali, Anak Asli Malaka, Alumni Lemhanas 2014 dan Dosen Filsafat Pancasila di Fakultas Kedokteran Unika Atmajaya Jakarta.
Oleh : Benyamin Mali
John Germanus Seran (JGS) selalu tampil menggoda dan menggelitik saya untuk menulis ‘sesuatu’ tentang apa yang dia tulis. Tulisan di bawah ini merupakan hasil godaannya. Kalau judul tulisannya berbunyi: “Wakil Bupati Tidak Punya Kuasa Tapi Punya Kerja, Salahkah?”, saya jawab: “Memang Salah, bahkan Salah Besar dan Sangat Fatal”. “Salah besar” karena begitu "telanjang" sehingga siapa pun pasti menutup mata untuk melihat apa yg dipertontonkan sebagai kekerasan "melawan" hukum dan demokrasi.
“Fatal” karena menjadi "pembiasaan" yang berpengaruh buruk terhadap pendidikan karakter warga Malaka yang seharusnya menjunjung malah sebaliknya menginjak nilai-nilai luhur kearifan “Sabete Saladi” dalam bertutur dan berperilaku. Semoga hasil godaan JGS ini balik menggoda dan menggelitik dia untuk menulis lagi tentang hal yang sama.
Indonesia ini Negara Hukum sajakah ?
Pertanyaan pertama yang spontan timbul dalam benak saya ketika membaca tulisan JGS adalah “Indonesia ini Negara Hukum sajakah?” Sehingga begitu terlontar suatu kritik, maka meluncurlah secara spontan ungkapan “Indonesia Negara Hukum”: siapa yang mencerca saya atau kami dan punya bukti konkret, silakan lapor ke polisi agar ada proses hukum hingga ke pengadilan.
Banyak orang, terutama para pejabat publik yang gemar menyebut diri “pejabat negara”, sepertinya terjangkit “demam hukum, demam pasal-pasal: pasal pencemaran nama baik, pasal fitnah, pasal bukti, dan seterusnya”, sehingga lupa dan tidak lagi melihat Indonesia ini dalam hakikatnya yang paling fundamental sebagai “Negara Pancasila”, dan setelah itu baru memandangnya sebagai sebuah “Negara Hukum” (rechtstaat) dan bukan “Negara Kekuasaan” (maachtstaat).
Memandang Indonesia sebagai “Negara Hukum” pun hanya berhenti di situ; mereka sama sekali lupa bahwa hukum itu adalah kembaran tak terpisahkan dari “demokrasi”, dalam arti bahwa hukum harus ada di sebuah negara yang kedaulatannya ada di tangan rakyat. Teori bernegara di mana pun di dunia ini mengatakan bahwa sebuah negara yang bersistem pemerintahan “demokrasi” sudah dengan sendirinya harus menampilkan diri juga sebagai sebuah negara “nomokrasi”.
Tujuannya ialah untuk menciptakan tata tertib di seluruh negeri dan menghindari kemungkinan terjadinya ekses-ekses negatif dari kedaulatan rakyat itu, berupa misalnya “kediktatoran rakyat” (popular dictatorship), atau pemaksaan kehendak oleh rakyat melalui “people power”. Atas dasar ini, Indonesia itu adalah sebuah “negara hukum-demokratis”. Keberhasilannya sebagai sebuah “negara hukum–demokratis” diukur dari sejauh mana Indonesia aktif menegakkan hak-hak asasi rakyatnya.
Hak asasi manusia menjadi batu ujian bagi Indonesia. Tentang hal ini, kita harus mengakui secara tulus bahwa negara kita belum sukses sebagai sebuah negara hukum-demokratis. Mengapa? Karena, supremasi hukum belum benar-benar ditegakkan, lantaran ibarat pisau belati, “hukum lebih tajam ke bawah tapi masih tumpul ke atas”. Demikian seloroh rakyat jelata yang tidak punya 3 BER: “ber-pendidikan, ber-kedudukan, dan ber-pengaruh”.
Dalam pandangan saya, seluruh warga negara Indonesia, khususnya para generasi muda penerus estafet kepemimpinan bangsa dan negara ini, hendaknya berpandangan lebih radikal, utuh-menyeluruh, holistik-komprehensif tentang Indonesia, tidak parsial-fragmentaris memandang Indonesia hanya sebagai sebuah “negara-hukum”. Memang benar, bahwa Indonesia ini adalah sebuah negara hukum (rechtstaat) dan bukan negara-kekuasaan (maachtstaat).
Namun jangan berhenti di situ! Kita hendaknya menukik lebih dalam ke dalam hakikat Indonesia itu sendiri semenjak didirikan dan menjadi sebuah negara merdeka sejak 17/18 Agustus 1945. Caranya ialah dengan melihat pada tata urutan sistem nilai. Seturut teori ‘sistem nilai’, hukum itu menempati urutan kedua sebagai ‘nilai-instrumental’, bukan ‘nilai-dasar, nilai utama, atau nilai fundamental’. Di sini, hukum berfungsi sebagai alat atau sarana yang dirumuskan dan ditetapkan sebagai aturan kelakuan yang berlaku wajib bagi seluruh warga negara, tanpa kecuali, untuk menciptakan ketertiban nasional.
Di sini berlaku aksioma: “siapa bersalah harus dihukum”. Sebagai alat dan sarana, hukum harus dipakai sebaik-baiknya dan setepat-tepatnya untuk semakin semaraknya ‘nilai dasar, nilai utama, nilai fundamental’, yaitu PANCASILA sebagai SUMBER DARI SEGALA SUMBER HUKUM. Maka, hal yang pertama-tama dan terutama ditanamkan dalam budi dan hati kita adalah INDONESIA ADALAH NEGARA PANCASILA.
Tentang hal ini ingatlah bahwa Undang-Undang Dasar 1945 (UUD NRI 1945) bisa diamandemen, berbagai Undang-Undang bisa diubah dan/atau diganti, tetapi terhadap Mukadimah atau Pembukaan UUD NRI 1945 tidak pernah boleh DIUBAH, lantaran pada Alinea Keempat Pembukaan itu terdapat rumusan PANCASILA, yang berkedudukan sebagai STAATFUNDAMENTALNORM, Pokok Kaidah Fundamental Negara. Itu berarti mengubah Pancasila sama dengan membongkar fundasi rumah Indonesia, dan hancur luluhlah Indonesia berkeping-keping.
Siapa mau HELP? Itulah sebabnya, mengapa ketika terjadi amandemen terhadap UUD NRI 1945, seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, hasil Pemilihan Umum 1999, pemilu pertama era Reformasi, sepakat untuk tidak mengutak-atik Pembukaan UUD NRI 1945.
Analogi yang tepat untuk menerangkan hal di atas adalah MANUSIA, diri kita sendiri. Bila ditanya: “Siapa itu manusia?”, bisa saja sebagian orang mengatakan, “manusia adalah makhluk kerja (homo faber); sebagian lagi mengatakan “manusia itu makhluk berdoa” (homo orans); sebagian lagi mengatakan “manusia itu makhluk bermain (homo ludens). Entah homo apa lagi! Semua itu tidak salah, namun parsial-fragmentaris, tidak mendasar, tidak fundamental.
Hakikat yang mendasar dan fundamental dari manusia itu adalah “makhluk ciptaan Allah”, yang misalnya dalam pandangan iman Kristiani disebut sebagai “gambar dan rupa Allah” (imago Dei, image of God). Doa, kerja, dan bermain adalah alat dan sarana yang harus dilakukan manusia sebaik-baiknya agar ‘gambar dan rupa Allah’ dalam dirinya menjadi semakin semarak, luhur dan mulia, dan dengan begitu Allah Pencipta semakin dimuliakan dan diluhurkan melalui manusia.
Dengan lain perkataan, doa, kerja, dan bermain adalah instrumen yang membuat manusia menjadi ‘wakil-Allah’ (kalifah Allah) yang sejati di dunia ini, yang diberi tugas merawat alam dunia ini sebaik-baiknya agar menjadi tempat kediaman yang membahagiakan bagi seluruh umat manusia, dan dengan begitu memuliakan Allah Pencipta.
Jelas bahwa ‘hukum’ hanyalah alat dan sarana untuk memelihara ketertiban nasional guna menghindari aneka ekses negatif dari kedaulatan rakyat, dan dengan demikian menjamin tegak dan terwujudnya nilai-nilai dasar manusia: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial, sebagaimana terdapat di dalam Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Maka adalah salah besar dan sama sekali tidak dibenarkan jika hukum ditafsir, dipakai, dan dipelintir untuk melakukan suatu tindakan yang menginjak-injak nilai-nilai dasar kemanusiaan.
Pidato SBS: Bukan Soal Salah-Benar tetapi Soal Patut-Tak-Patut!
Dalam kaitan dengan tulisan JGS, mau saya katakan bahwa ucapan bupati SBS dalam pidatonya pada saat Deklarasi dan Pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Malaka: “Wakil Bupati itu tidak punya kuasa. Wakil Bupati itu hanya punya pekerjaan, jadi harus baik-baik dengan Bupati agar dapat kerjaan dan penugasan-penugasan,” adalah suatu kesalahan besar dan sangat fatal; suatu “sisipan pidato politik” yang “tidak pantas dan layak” untuk dikemukakan secara terbuka oleh SBS sebagai calon bupati di hadapan massa dan petinggi partai-partai pendukungnya.
Ungkapan SBS yang vulgar terkait peran Wandelinus Taolin sebagai calon wakilnya itu lebih bersentuhan dengan masalah ‘moralitas (Moral Pancasila, Moral Agama, Moral Adat Budaya Sabete-Saladi)’ daripada dengan masalah ‘hukum positif Indonesia’ yang sifatnya ‘hitam-putih’, ‘salah-benar’ (terkait kedudukan dan tugas seorang Kepala Daerah).
Kecuali itu, dari sudut pandang adat-budaya Malaka “Sabete-Saladi”, ungkapan itu sudah “SALADI – SAI KLADIK”, artinya “keluar batas”, sehingga terkesan spontan sebagai ungkapan seorang (calon) pemimpin yang nota bene “notar-lalek” (tidak tau adat), “angkuh”, dan ‘arogan”, dan oleh sebab itu sudah sepatutnya dikenai “denda adat” seturut adat-budaya Malaka.
Kesan-kesan spontan itulah yang terungkap di dalam begitu banyak komentar netizen di media-media sosial (Facebook, WA group, dan lain-lain) sebagaimana dikatakan JGS dalam tulisannya. Lebih dari itu, – meminjam komentar spontan beberapa “Filsuf dan Teolog” Asli Malaka, yang terhimpun di dalam perkumpulan ASDM (Alumni Seminari Dekenat Malaka) – “SBS bukannya membuat Malaka ‘LAKA’ TEBES, tetapi sebaliknya justru membuat Malaka LOKO TEBES.” Ini blunder politik made in SBS yang mematikan langkahnya sendiri menuju 9 Desember, karena mengundang respon yang tidak simpatik dari khalayak terhadap dirinya.
Tega nian SBS mempermalukan calon wakilnya di hadapan istri, keluarga, dan seluruh massa dan petinggi partai-partai pendukung. Padahal dia sendiri yang memilih secara sadar, tahu dan mau, dan menyisihkan Saudara Ir. Paulus Un, MSi yang setidak-tidaknya ahli di bidang pertanian. Bukankah hal “tugas pekerjaan” seorang wakil seharusnya dikemukakan secara tertutup dalam suatu pertemuan empat mata di sebuah ruang rahasia agar tidak diketahui oleh publik dan massa pendukung?
Di sini terkesan kuat bahwa di depan nanti, apabila SBS memenangkan Pilkada 9 Desember – menurut perkiraan banyak orang – dia akan memperlakukan wakilnya hanya sebagai “ban cadangan”, bahkan “hamba” dan “boneka”, bukan sebagai wakil yang terhormat, karena untuk mendapatkan pekerjaan dan penugasan-penugasan pun, wakil harus “baik-baik sama bupati”. Bahkan bila perlu SBS tidak akan segan-segan men-nonjob-kan Wande Taolin, wakilnya.
What Next?
Apa yang selanjutnya akan terjadi? Saya tidak tahu jelas dan pasti apa yang akan terjadi selanjutnya pada 9 Desember. Hal yang pasti ialah bahwa SBS sendiri sudah membangun suatu gambaran diri yang tidak simpatik di hadapan massa pendukung, khususnya keluarga wakilnya dan seluruh massa pendukung, khususnya pendukung yang sekampung dan sekecamatan dengan wakilnya.
Banyak orang mengatakan bahwa ucapan spontan SBS yang fatal itu merugikan dirinya sendiri, dan menguntungkan pihak penantang, dalam hal ini SAKTI. Dan ini – menurut saya – merupakan suatu “beban batin” yang berat – untuk tidak mengatakan “beban batin yang tak terpikulkan”. Di sini setidak-tidaknya akan berlaku hukum alam: “siapa menabur angin akan menuai badai”.
Apa pun pembelaan dari para pendukung SBS, termasuk JGS, dengan alasan apa pun dan dari sudut pandang apa pun, kesan spontan khalayak massa takkan terbendung, dan akan mengalir bagai “banjir badang” dan berkemungkinan besar akan menghanyutkan semua impian indah.
“Reaksi spontan adalah suara hati nurani yang murni tak direkayasa. Dan suara hati biasanya disebut Suara Tuhan. Sementara segala macam pembelaan adalah pembenaran, rasionalisasi, dan rekayasa".
INGAT!
“Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat” (Markus 2:27-28).
Ketika seorang ahli Taurat bertanya: “Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?” Jawab Yesus kepadanya: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” (Mat 22:37-40).
*Anak Asli Malaka, Alumni Lemhanas 2014 dan Dosen Filsafat Pancasila di Fakultas Kedokteran Unika Atmajaya Jakarta. (*)