Al Mukhollis Siagian, Foto: Istimewa
MEMBONGKAR PSIKOLOGI POLITIK
(Oleh: Al Mukhollis Siagian - Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara Universitas Negeri Padang)
Politik merupakan topik yang sangat menarik untuk dikaji dalam kehidupan sehari-hari dan hampir setiap hari dibahas. Diskursus tentang politik sudah amat sering dilakukan oleh berbagai pihak, mulai dari akademisi, politisi, analis, jurnalis, pakar hukum, hingga pada masyarakat biasa baik itu secara tulisan maupun secara lisan (debat, diskusi, seminar, dialog dan sebagainya).
Benar bahwa definisi politik masih menuai perdebatan dalam percakapan manusia, meskipun demikian ada satu kesamaan yang kita peroleh berdasarkan esensi dari politik itu sendiri, yaitu seni menata kehidupan masyarakat dengan algoritma permintaan dan penawaran (demand and supply).
Akan tetapi, perpolitikan seringkali diejawantahkan dalam bentuk dan warna yang semu, samar-samar, dan buram untuk dilihat, atau istilah yang Penulis sebut sebagai pseudopolitic. Wajar, sebab ada tujuan yang hendak dicapai dalam bentuk kekuasaan. Namun, wajib untuk kita memperjelas warna dan bentuk politik dalam menata kehidupan masyarakat, agar memperoleh kerjasama yang harmonis antara masyarakat, pemerintah dan swasta dalam membangun bangsa.
Eksistensi politik yang samar ini, kerap kali terjadi ketika kontestasi demokrasi, baik itu pemilihan umum legislatif maupun pemilihan umum eksekutif. Sehingga memperoleh implikasi nyata dalam tubuh masyarakat mengalami ketraumaan dan ketidakpercayaan terhadap politik. Memang tidak selayaknya dipukul rata kondisi politik dibeberapa waktu belakang dengan kondisi politik yang harus dibangun melalui visi Indonesia kedepan. Di mana yang kita butuhkan adalah solusi dalam membangun bersama sehingga memperoleh konklusi bahwa politik merupakan seni menata kehidupan masyarakat dengan baik dan benar.
Oleh karenanya, muncul pertanyaan untuk kita bersama, bagaimana seharusnya kita memperbaiki tatanan politik yang terbentuk selama ini? Tentu bukan dengan rintihan disosial media, teriakan di jalan, maupun dengan idealis utopis para kauman muda saja. Melainkan kita butuh upaya penyadaran politik dengan baik dan membongkar seluruh yang salah, lalu kita renovasi kembali, atau seperti yang dikatakan oleh Derrida untuk mendekonstruksi wacana politik yang bertaburan dalam hukum permintaan dan penawaran di pasar masyarakat.
Psikologi Politik
Mengenai psikologi politik kita ketahui bersama, bahwa politik dikendalikan oleh orang-orang yang sebagai penjalannya, penerima dan penolaknya dengan mekanisme hukum permintaan dan penawaran. Sehingga psikologi politik merupakan manifestasi dan kulminasi dari psikologi para penjalankannya, penerima dan penolaknya. Berarti politik akan bergantung pada pemerintah, masyarakat dan oposisi.
Rumus atas terbentuknya psikologi politiksecara sederhana penulis buatkan adalah “Psikologi politik = [Pemerintah (politisi) - Oposisi (partai politik & organisasi masyarakat)] : Masyarakat”.Dengan kata lain, kuat atau tidaknya peran pemerintah dalam mengambil kebijakan mengenai tatanan bangsa akan di pengaruhi oposan yang menolak atas dasar tatanan bangsa juga, lalu dibagi (diserahkan) pada masyarakat yang sebagai penentu layak atau tidaknya kebijakan tersebut diterapkan.
Sebagai contoh, penulis misalkan pada psikologi politik penyerapan tenaga kerja asing, “Tenaga Kerja Asing= [Pemerintah ( 80% yakin mampu meningkatkan perekonomian) – Oposisi (menolak secara 81% dikarenakan menambah angka ketimpangan) : Masyarakat (belum siap bersaing dan masih banyak pengangguran)”. Berarti psikologi politik menderita penyakit tidak peduli rakyat jika masih saja diterapkan dan seharusnya kebijakan tersebut diganti dengan pemberdayaan masyarakat dalam hal membangun ketenagakerjaan untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Perbaikan Psikologi Politik
Namun pada kondisi saat ini, Penulis ingin mengajak masyarakat agar lebih melek politik, sebab dalam psikologi politik ini, Penulis menekankan bagaimana mekanisme penawaran dan permintaan berlangsung di tengah kehidupan. Apabila masyarakat masih saja suka dengan hoax, maka para politisi akan menjajakan data statistik mereka dengan semenarik mungkin agar terlihat mempunyai landasan akademik dan realistik yang valid untuk sebuah pembenaran; apabila masyarakat masih saja suka dengan politik uang, maka para politisi akan menawarkan uang tertinggi untuk meraup uang kembali, apabila masyarakat masih saja suka ditipu, maka para politisi akan terus menjual tipuan dan seterusnya.
Oleh karenanya, psikologi politik bukanlah persoalan benar salah mapun soal keadilan, melainkan persoalan kesadaran dan kewarasan berkehidupan. Lantas bagaimana mengubah warna dan bentuk politik ini? Seperti Penulis sampaikan di atas bahwa yang mengubahnya bukanlah sekedar harapan, rintihan idealisme utopis, dan kicauan kelam di sosial media. Melainkan selera masyarakat itu sendiri yang terbentuk dari susunan kesadaran, kecerdasan masyarakat memilah, maqam kedewasaan dan kewarasan berkehidupan, dan hukum adaptasi politisi yang akan mengikut pada aliran tipologi kebutuhan masyarakat.
Apabila merujuk aforisme seorang filsuf bernama Rene Descartes yang berbunyi “cogito ergo sum (aku berfikir, maka aku ada)”, maka aforisme Penulis untuk psikologi politik ini adalah “masyarakat cerdas adalah politik sadar, maka politik ada untuk masyarakat”. Di mana arus perputaran politik merupakan kehendak mutlak masyarakat itu sendiri, baik dalam kontestasi (penggunaan suara dalam pemilihan umum) maupun menyangkal dan menerima segala kebijakan dari politik untuk kehidupan lebih baik.
Untuk itu, ke depannya kita harus mampu membentuk psikologi politik dengan sehat guna menata kehidupan masyarakat secara baik dan benar. Untuk indikator dan tolak ukur baik dan benarnya perjalanan politik itu sendiri adalah empat dasar kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara, Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.
Berhubung penulis merupakan mahasiswa Universitas Negeri Padang yang dalam naungan Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Barat, yang mana pada tahun 2020 akan melangsungkan pemilihan umum gubernur dan wakil gubernur. Oleh karenanya penulis khususkan implementasi perbaikan psikologi politik ini di mulai dari masyarakat Sumatera Barat sekaligus menjadi contoh/panutan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. (*)