Emanuel Kolfidus
Emanuel Kolfidus
Kupang, Pelopor9 - Sejak dilantik menjadi Presiden RI unuk periode kedua (2019-2024), tepatnya 20 Oktober 2019, setelah menang pilpres sebesar 55,50 %, Jokowi mengajukan permohonan rencana suatu terobosan hukum berkonsep Omnibus Law. Omnibus Law berasal dari bahasa Latin, omnis yang berarti banyak, dalam konsepsi perundang-undangan dimaknai sebagai penyelesaian berbagai pengaturan sebuah kebijakan tertentu, tercantum dalam berbagai UU ke dalam satu UU payung.
Sejatinya, Omnibus Law merupakan satu wacana baru dalam tata hukum Indonesia, termasuk beberapa pakar hukum, mengakui baru mendengar gagasan ini. Namun, ada juga beberapa pakar yang sudah mengenal dan merperkenalkan konsepsi hukum Omnibus Law. Jejak digital menyebut, Jimmy Zefarius Usfunan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Udaya Bali sebagai salah satu ilmuwan hukum yang merintis ulasan Omnibus Law dalam wacana hukum Indonesia.
Merujuk nama ini, sudah tentu beliau berasal dari NTT atau setidaknya memiliki darah NTT. (Salut). Disebutkan pula, Menteri Agraria dan tata Ruang, Sofyan Djalil, pernah melontarkan gagasan Omnibus Law atau disebut juga Omnibus Bill. Sofyan merujuk negara dengan sistem common law (AS).
Omnibus Law dipraktikkan mulai tahun 1888 di AS. Tahun 1967, rancangan metode Omnibus Law semakin popular di AS. Ahmad Redi, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Tarumanegara menyebut pada saat itu, sekitar 9 negara mengunakan konsep Omnibus Law, yaitu : Inggris, Australia, Jerman, Turki, Filipina, Kamboja, Vietnam, Malaysia dan Singapura.
Ada lima negara, merupakan tetangga dekat Indonesia. Implementasi Omnibus Law lebih mengarah pada tradisi Anglo-Saxon Common Law (tradisi Yuirisprudensi, hukum yang menggunakan kebiasaan-kebiasaan dan berjalan dinamis). Kita mengenal juga penganut tradisi hukum Eropa Kontinental (Civic Law) yang berkiblat pada sumber hukum formal berupa peraturan perundang-undangan, kebiasaan-kebiasan dan yurisprudensi. Indonesia menganut tradisi civic law, lalu pakah bisa menerapkan Omnibus Law ? Menurut Jimmy, bisa.
Menurutnya, ada dua alasan untuk Omnibus Law yaitu pertama, mengatasi persoalan kriminalisasi pejabat negara, dan kedua, demi penyeragaman kebijakan pusat dan daerah dalam menunjang investasi.
Keunggulan Omnibus Law adalah kepraktisan untuk mengoreksi banyak regulasi bermasalah. Tujuan kedua adalah meningkatkan kecepatan dalam penyusunan undang-undang. Omnibus Law juga memperbaiki tumpang tindih regulasi dalam hubungan horizontal maupun vertikal.
Singkat kata, orang paham hukum menyatakan bahwa Omnibus Law bertujuan mengatasi konflik peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif dan efisien.
Menurut sejumlah ahli hukum, meskipun istilah Omnibus Law ini baru di Indonesia, tetapi praktik Omnibus Law sebenarnya telah ada. Omnibus Law terutama merubah pasal-pasal dalam sejumlah undang-undang. Contohnya UU No. 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi untuk Kepentingan Perpajakan, membatalkan pasal 35 ayat (2) dan pasal 35A UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan beserta perubahaanya.
Pasal 40 dan pasal 41 dalam UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan serta perubahannya, dan pasal 47 dalam UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, pasal 27 dan pasal 55 UU No, 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi serta pasal 42 UU No, 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Artinya UU No. 1 Tahun 2017 memayungi sekaligus lima UU yang telah ada.
Disebutkan pula, ada tantangan dalam menciptakan Omnibus Law yaitu adanya asas lex posterior derogate legi priori yang berarti hukum yang terbaru mengesampingkan hukum yang lama, sehingga setelah UU Cipta Kerja perlu pengaturan atau hukum baru yang bersifat harmonisasi yang tidak bertentangan lagi dengan UU Cipta Kerja.
Namun, kedudukan UU Cipta Kerja mesti menjadi hukum yang tertinggi (super power) sehingga berlaku asas lex superior derogat legi inferior, hukum yang lebih tingggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah.
OMNIBUS LAW CIPTA KERJA
Kemarin dulu, kemarin dan hari ini, dan mungkin besok, terjadi sejumlah demosntrasi besar-besaran di tengah-tengah larangan mengumpulkan massa karena pandemic covid 19. Demo oleh mahasiswa, buruh, anak SMA/SMK dan beberapa lain tanpa uniform atau identitas jelas. Di Jakarta rusuh, Yogya rusuh, Kupang pun rusuh. Di Maumere, demo ditengah pemberlakukan PKM (Pembatasan Kegiatan Masyarakat) untuk mencegah terjadinya transmisi local covid -19.
Jakarta itu terjadi perusakkan dan pembakaran sejumlah fasilitas umum dan penjarahan, di Yogya sebagian melakukan peruakkan di Malioboro yang sangat terkenal itu. Di Kupang, terjadi aksi pelemparan pendemo ke polisi dan pembakaran ban. Ini semua, sebagaimana terdengar, demi menolak Omnibus Law, dan UU “CILAKA” menurut mereka.
Massa begitu marah dan beringas oleh karena katanya ada sejumlah kesalahan para pembuat UU karena menghapus hak cuti, hak pesangon, dan hak-hak pekerja lainnya. Paling tidak ada 12 point yang menurut mereka, menjadi alasan amok kemarahan rakyat.
Karena itu ada baiknya ruang ini, kita perlihatkan, diskusikan dan perdebatkan sejumlah isu yang membuat rakyat marah besar atas ditetapkannya UU Cipta Kerja. Kita mulai dengan penjelasan pembuat UU. Tujuan omnibus law yang urgen antara lain untuk penyederhanaan, sinkronisasi, dan pemangkasan regulasi. Indonesia terlalu banyak memiliki regulasi (hiper regulasi). Omnibus law ini, memayungi 80-an UU dengan lebih dari 1200 -an pasal.
Dengan konsep Omnibus law akan terjadi peningkatan efisiensi birokrasi. Bukankah sudah sejak lama, para aktivis mengkritik keras Indonesia yang terlalu briokratis ? Tujuan lainya, melindungi danm memudahkan UMKMdan koperasi untuk dapat masuk ke sector formal. Hemat saya, inilah tujuan yang benar-benar merakyat. Dengan selesainya UU Cipta Kerja sebagai payung, pemerintah nmempunyai tugas menindaklanuti dengan puluhan peraturan pelaksana, tercatat sekitar 39 aturan turunan yang harus diselesaikan.
HOAX
Mengenai hoax, sejumlah medsos memberitakan sang penyebar hoax sudah ditangkap, seorang perempuan. Pertama uang pesangon dihilangkan. Faktanya, uang pesangon tetap ada diatur dalam pasal 89 tentang perubahaan terhadap pasal 156 ayat 1 UU 13 Tahun 2003. “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja.
Pengaturan ini menggunakan frasa wajib, tidcak boleh tidak. Soal hak cuti yang disebut hilang, faktanya tetap ada hak cuti, diatur dalam pasal 89 tentang perubahaan terhadap pasal 79 UU 13 Tahun 2003, ayat 1 Pengusaha wajib memberi : a. waktu istirahat; dan b. cuti
Ayat (2) Cuti yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.
Ayat (3) Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat di atas, perusahaan dapat memberikan cuti panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Ketentuan dalam No. UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai berikut :
Pasal 79 ayat (1) Pengusaha wajib memberikan waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh. Perubahaanya adalah penempatan berbeda dalam UU Cipta kerja dari istirahat dan cuti menjadi : a. istirahat, dan b. cuti. Tidak ada perubahaan yang sangat kontradiktif. Jadi, sama sekali tidak dihilangkan hak cuti pekerja/buruh.
Pengaturan soal istirahat panjang (Pasal 79 ayat (2) huruf d UU No. 13 Tahun 2003) mengatur istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus menerus pada perusahan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
Buruh/pekerja dan salah satu aktivis menyatakan memprotes dihilangkannya ketentuan pasal 79 ayat (2) huruf d tentang istirahat panjang tahun ketujuh dan kedelapan setelah seorang bekerja pada perusahaan yang sama secara terus menerus selama 6 (enam) tahun. Pasal 79 ayat (4) UU Np. 13 Tahun 2003 mengatur Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu.
Ayat (5) berbunyi : Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri. Inikan aneh, semakin birokratis dan tidak menjamin asas keadilan dalam pengaturan oleh seorang Menteri. Kalau demikian berarti ada ketidakadilan dalam pengaturan ini (UU lama), karena hak demikian hanya diberikan kepada pekerja di perusahaan tertentu.
Nah, ketentuan ini dihapus dalam UU Cipta Kerja, yang artinya tidak mengatur lagi hak eksklusif bai pekerja/buruh tertentu pada perusahaan tertentu tetapi mengatur keadilan bagi seluruh pekerja/buruh pada semua perusahaan dengan pengaturan cuti tahunan, 12 hari berturut-turut. Pengaturan tentang istirahat panjang untuk tahun ketujuh dan kedelapan juga sepertinya tidak efektif dan relevan, karena setiap tahun, pekerja/buruh sudah mendapatkan hak cuti 12 hari, belum lagi ada hari libur dan hari yang diliburkan.
Dengan mengunakan satu saja contoh kesimpangsiuran informasi publik, bahkan adanya berita bohong, kita dapat meyakini bahwa ada penyesatan informasi publik oleh penumpang gelap politik untuk mnciptakan kepanikan massa terutama kaum buruh seolah-olah hak-hak mereka dikebiri dalam UU baru. Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah untuk melakukan sosialisasi massif dan dialog lebih banyak lagi agar tercipta pemahaman utuh atas isi UU Cipta Kerja.
Pemerintah menjadi pemegang otoritas atas informasi dan kebenaran informasi tersebut, daripada dibiarkan bersiliweran tanpa kontrol. Terakhir, barusan Presiden telah melakukannya, konferensi pers, mengkomunikasikan seperti apa kebijakan Omnibus Law. Kita berharap penjelasan resmi pemerintah langsung oleh Presiden, menjadi bahan untuk membangun pemahaman, kepercayaan dan keyakinan atas niat baik pmerintah mendorong Omnibus Law.
Mungkin, mahasiswa akan menyatakan tugas mereka bukan membaca UU tetapi bergerak untuk menolak. Tetapi perlu dijernihkan, bagaimana bergerak tanpa mengetahui secara persis dan memahami secara utuh isi UU ? Tidak mungkin dan tidak boleh mahasiswa sebagai golongan intelektual dianggap hanya mengunakan logika pokoknya.
Kontrol mahasiswa sangat perlu, tetapi sering disebut bahwa mahasiswa itu agen perubahaan, anti kepamanan dan bebas nilai, bebas dari konflik kepentingan, dalam hal ini kepentingan politik praktis dari aksi penolakan UU Cipta Kerja. Mahasiswa berada pada posisi sebagai jembatan yang dilalui bus. Jika mahasiswa menjadi bus, terbukti adanya penumpang gelap, penyusup yang naik bus untuk membuat ricuh. Saya tidak yakin, aksi lempar baru, bakar ban, merusak fasilitas umum sampai pada penjarahan sebagai skenario gerakan mahasiswa. Itu bukan identitas.
Kita sarankan, DPR RI dan Bapak Presiden dapat menggagas suatu forum dialog nasional bersama mahasiswa untuk mengisi ruang kosong kesenjangan komunikasi jika itu memang ada. Tetapi perlu diingat bahwa proses Omnibus Law ini sudah sejak lama, berproses di DPR RI melibatkan semua Fraksi, dan jika ada satu dua fraksi menolak di titik akhir, itu mungkin pilihan politik mereka.
Tetapi, demokrasi itu punya harga dan rasa sakit tersendiri, demikian kata politisi kesohor dari bumi Maumere, Bung Kanis Pari. Artinya, ketika keputusan diambil, semua harus menerima sebagai keputusan bersama (kelembagaan). Itulah mengapa politik dan demokrasi disebut seni. Berbeda namun tetap menerima untuk bersepakat.
Saya meyakini dan tidak berkurang sedikitpun, akan komitmen Presiden Jokowi bagi rakyatnya (buruh, tani, nelayan dan semua rakyat) dan kepada bangsanya. Dia presiden yang membangun tanpa mangkrak, membangun kebanggaan nasional di seluruh garis beranda Indonesia, masuk got, mendaki gunung, turun lembah, mengarungi laut dan menerobos awan, berjalan kaki, naik sepeda, naik sepeda motor, naik mobil hingga pesawat setiap harinya, bekerja keras untuk rakyat.
Tentu masih ada kekurangan, namun saya berpendapat, Jokowi salah satu presiden kebanggaan dan membanggakan. Kita bisa berbeda soal ini, tetapi fakta-faktanya sangat jelas.
Lebih dari itu, bangsa memanggil kita bergotong royong mengatasi pandemic covid 19. Meskipun, jika anda tidak percaya kepada Corona, mohon ketidakpercayaan anda itu harus dijamin, tidak akan pernah merugikan orang lain. Ketika sikap pribadi dengan tidak percaya Corona membahayakan kesehatan orang lain, walaupun kepada satu atau dua orang saja, apalagi jika kepada ratusan orang, anda pernah melakukan sesuatu yang sangat disesalkan.
Baiklah, malam semakin larut, ponaan saya lagi bertanya kepadaku : “ Om, Ini Bus Kow ? “. Saya jawab : “ iya, ini bus yang bisa angkut semua penumpang”. Ponaan sambung : ’ pantas saja, UU juga pakai nama bus”. Iya ya, benar, ada Omnibus Law, sebuah bus hukum. (*)