OPINI: Seroja, Pemerintah dan Mitigasi

Betruida Ratu Djia, Foto: Dok Penulis

Seroja, Pemerintah dan Mitigasi

 

Oleh

Betruida Ratu Djia

Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Undana Kupang

 

Bencana alam siklon tropis atau Seroja yang terjadi Minggu 05 April 2021 dini hari, mengisahkan luka dan trauma yang mendalam bagi masyarakat NTT khususnya Kota Kupang.

 

Sejumlah daerah di provinsi NTT seperti Kota Kupang, Rote Ndao, Sabu Raijua, Flores Timur dan Alor porak – poranda. Ribuan rumah rusak dan ratusan orang menjadi korban jiwa serta ribuan infrastruktur pemerintah rusak.

 

Data Posko Tanggap Darurat Badai Siklon Tropis Seroja NTT (23 April 2021) menampilkan jumlah korban bencana siklon tropis Seroja, meliputi: korban meninggal berjumlah 182 jiwa, korban hilang berjumlah 47 jiwa.

 

Sementara korban luka-luka sebanyak 136 jiwa, korban pengungsi berjumlah 54,069 jiwa  dan korban terdampak berjumlah 474,492 jiwa.

 

Badan meteorologi klimatologi geofisika menyatakan bahwa  Siklon tropis merupakan badai dengan kekuatan yang besar. Radius rata-rata siklon tropis mencapai 150 hingga 200 km.

 

Siklon tropis terbentuk di atas lautan luas yang umumnya mempunyai suhu permukaan air laut hangat, lebih dari 26.5 °C. Angin kencang yang berputar didekat pusatnya mempunyai kecepatan angin lebih dari 63 km/jam.

 

Secara teknis, siklon tropis didefinisikan sebagai sistem tekanan rendah non-frontal yang berskala sinoptik yang tumbuh di atas perairan hangat dengan wilayah perawanan konvektif dan kecepatan angin maksimum.

 

Setidaknya mencapai 34 knot pada lebih dari setengah wilayah yang melingkari pusatnya, serta bertahan kurang lebih enam jam.

 

Akibatnya, terjadi hujan deras disertai angin kencang yang menyebabkan banjir bandang dan longsor. Serangan badai Seroja menumbangkan banyak pohon-pohon besar yang menyebabkan beberapa titik jalan tertutup serta menimpa kabel-kabel listrik dan telekomunikasi yang mengakibatkan padamnya listrik dan hilangnya jaringan selama beberapa hari.

 

Siklon Seroja menyisahkan puing kehancuran, trauma kepada masyarakat akan terjadi bencana susulan atau Siklon tropis yang dahsyat akan terjadi lagi di kemudian hari.

 

Kondisi ini, mesti memberi pelajaran bagi semua pihak. Para ahli dan pemerintah agar mengambil langkah kongkrit untuk merekonstruksi kembali. Membuat kebijakan anggaran dan mendesain kembali konsep pembangunan yang adaptif dengan perubahan iklim.

 

Merespon kondisi ini, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), memiliki peran strategis dan sangat penting. Pemerintah sebagai eksekutor anggaran dan DPRD yang menyetujui anggaran.

 

Pemerintah mempunyai andil dalam menangani pasca Seroja. Melakukan pendataan dan memastikan data kerusakan akibat bencana terverifikasi secara baik. Sehingga dalam penanganan dan penyaluran bantuan tidak menimbulkan kejolak sosial baru.

 

Dengan data yang valid, maka pemerintah dapat mengambil kebijakan dan mendesain program yang menyentuh kebutuhan masyarakat. Memulihkan segala kerusakan dan serta mengantisipasi bencana yang akan terjadi ke depan.

 

Pemerintah sudah seharusnya lebih responsif untuk mulai mengkaji secara kritis rencana-rencana pembangunan infrastruktur yang sifatnya antisipatif, sehingga dapat meminimalisir risiko yang terjadi.

 

Menyusun tata kelola pembangunan dengan memperhatikan aspek manajemen risiko bencana yang sistematis serta valid, karena situasi dan kondisi di NTT sendiri telah berubah, mengikuti perubahan iklim global.

 

Karena tidak mungkin menahan ancaman alam yang bisa terjadi kapan saja, namun yang bisa dilakuakn meminimalisir risiko dan dampak yang ditimbulkan dengan pembangunan yang berpegang pada aspek manajemen resiko.

 

Upaya massif lain, melakukan edukasi secara dini, penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat dalam mengenali tanda-tanda dan risiko bencana serta melakukan upaya mitigasi bencana seperti: pembangunan rumah dan infrastruktur yang tahan terhadap bencana yang akan datang kapan saja.

 

Menggalakan penghijauan di seluruh wilayah NTT, dengan penanaman pohon sebagai respon akan perubahan iklim global. Selain itu, sebagai upaya mengkonservasi dalam menyimpan air tanah.

 

Hal terpenting adalah mengedukasi masyarakat untuk responsive dan beradaptasi dengan perubahan iklim. Merekonstruksi setiap rumah agar dibangun sesuai kondisi dan perubahan iklim yang terjadi. (*)