Benyamin Mali
Oleh Benyamin Mali, Diaspora Malaka, Asli Kletek, Fisipol Universitas Indonesia, Dosen Unika Atmajaya Jakarta
WAKIL RAKYAT MALAKA MEMANG BEDA. Sungguh BEDA! Ketika rakyat dan pemerintah seantero negeri tergagap-gagap mengatasi ancaman covid-19, para wakil rakyat ini bertingkah seolah tidak ada apa-apa yang terjadi, termasuk di Malaka sendiri. Sungguh kita dibuat terpaku, bukan karena tercengang dan kagum, lalu bertepuk tangan dan bersiul meriah, tetapi sebaliknya “terperanjat penuh keheranan (Ya ampun…koq bisa ya!), lalu menggerutu, mencemooh, dan bahkan memaki, tidak sehari dua hari tetapi berhari-hari, siang dan malam, setiap kali video-video mencengangkan itu diviralkan melalui media-media sosial, semisal facebook dan whatsapp group, bahkan melalui saluran TV nasional, semisal MetroTV”. Barangkali ini salah satu ciri khas ‘anak-bungsu’ yang biasanya suka rewel, egoistik, egosentristik, suka menarik perhatian orang lain, tidak sadar diri dan sadar lingkungan! Mudah-mudahan TIDAK!
KENALILAH DIRIMU: SIAPAKAH AKU?
“Mengenal diri” – “Gnoti Seauthon”, kata filsuf Yunani abad kuno, adalah kata yang tepat untuk menggambarkan perilaku segelintir anggota dewan Kabupaten Malaka yang menjadi tranding topic di jagat maya hari-hari ini. Pasalnya karena perilaku mereka yang nyata-nyata bertentangan: pertama, dengan jati diri mereka sebagai “wakil-rakyat” – “anggota parlemen” beserta semua implikasi politik yang terkandung di dalam sebutan terhormat itu; kedua, dengan situasi dan kondisi pandemik Covid-19 dan ancaman fatal yang menyertainya terhadap siapa pun termasuk masyarakat Malaka yang memilih mereka menjadi “wakil-rakyat”.
Bahwa terhadap ulah para wakil rakyat itu, masyarakat Malaka menggerutu dan mencemooh, mengecam dan bahkan memaki, hal itu dapat dimengerti. Mengapa? Karena ulah para wakil rakyat itu sangat paradoksal. Gerutu dan cemooh itu TIDAK TERUTAMA karena masyarakat Malaka tidak memahami sisi kemanusiaan para wakilnya di lembaga parlemen daerah itu; bahwasanya sebagai manusia, para wakil rakyat itu juga perlu pula bersenang-senang di kala sumpek dan galau, dengan berkaraoke, berdansa-dansi, dan berjoget-ria sambil menggenggam gelas minum di tangan. Reaksi keras masyarakat itu TERUTAMA karena para wakil yang mereka pilih itu “tidak sadar diri” alias “lupa diri”, lupa akan predikat dirinya sebagai wakil rakyat, anggota parlemen, penyambung lidah rakyat pemilih, yang seharusnya siaga penuh di baris terdepan dalam membela dan melindungi rakyat, terutama dalam menghadapi pandemik ini dan aneka masalah terkait bencana Seroja yang baru saja melanda Malaka.
Bahwa dalam konteks ini, DPD I Partai dari para wakil rakyat itu angkat bicara “membela”, dengan mengatakan bahwa para wakil rakyat itu adalah ‘manusia biasa’ dan sebagai manusia, mereka juga bisa tergoda untuk menghibur diri di tengah pandemi, di satu pihak dapat dipahami berdasar atas asas kolegialitas kepartaian, tetapi di pihak lain pembelaan itu sungguh mengiris hati masyarakat Malaka karena cenderung ‘tidak menghiraukan dan tidak menghargai’ ekspresi keprihatinan dan ketidakpuasan masyarakat Malaka sebagai rakyat pemilih wakil-wakil rakyat itu.
Sungguh ironis! Karena dengan begitu petinggi DPD I, dalam hal ini Partai Golkar, membela perilaku kolega wakil rakyat yang mencari hiburan secara tidak tepat: tidak tepat waktu dan tidak tepat tempat”. Seharusnya dari mulut petinggi DPD I keluar ungkapan ‘rasa sesal dan kaget’ dalam menanggapi kejadian itu. Secara politik, pembelaan ini berpotensi mengikis kepercayaan rakyat Malaka, baik terhadap wakil yang telah mereka pilih, juga terhadap partai secara keseluruhan. Dampak politiknya tidak baik di kemudian hari karena keprihatinan rakyat pemilih disepelekan lantaran lebih memilih membela kolega wakil rakyat.
WAKIL RAKYAT
Kesan spontan yang muncul dalam benak saya terkait kejadian ‘dansa-dansi dan berjoget-ria’ di rumah rakyat dalam kondisi berpakaian kebesaran itu adalah: “para wakil rakyat ini berada dalam kondisi “atau…atau” : “atau kurang atau bahkan tidak dibekali nilai-nilai ke-wakilrakyat-an” … “atau para wakil rakyat itu sendiri yang acuh tak acuh dengan pentingnya nilai-nilai ke-wakilrakyat-an dan menganggapnya sepele, karena apa pun ceritanya, mereka ‘kan sudah menjadi wakil rakyat’”. Akibatnya sebagaimana kita saksikan dalam kejadian yang terus viral itu.
Kondisi “atau…atau” itu bahkan tampak dalam pernyataan-pernyataan politik tidak berdasar, bahkan membabi-buta dari individu wakil rakyat tertentu, di hadapan FORUM, misalnya pernyataan: “kedudukan SAYA sebagai wakil rakyat SEJAJAR dengan kedudukan BUPATI / KEPALA DAERAH,” suatu pernyataan politik yang menggelegar dan sarat dengan kebanggaan diri, tetapi kosong tak berisi, alias ASBUN. Sedih kita mendengar pernyataan menggelegar seperti itu. Dari pernyataan politik asbun itu, masyarakat dapat mengukur sehebat apa kualitas akademik dan karakter wakil rakyat Malaka itu. Hasil belajar dari sekolah APA dan dari PROFESOR siapa? Masyarakat dapat saja mengatakan, “Waduh, kita sudah salah pilih orang ini! Nanti 2024, jangan lagi kita memilih dia!”. Bila sudah begitu ceritanya, yang rugi bukan saja individu wakil rakyat, tetapi juga partai.
Karena itu, baiklah diingat, disadari, dan dicamkan hal berikut ini.
Tidak susah-susah amat menelisik makna istilah ‘wakil rakyat’. Secara sederhana dapat ditelisik sebagai berikut: Ada “wakil” berarti ada “ketua”. Ada “wakil-rakyat” berarti ada “ketua-rakyat”. Dan siapa ‘ketua-rakyat’ itu? Yah, RAKYAT itu sendiri, yang telah memilih ABCD sebagai wakil mereka. Wakil harus menyuarakan aspirasi ketua, dalam hal-hal yang sungguh merupakan kebutuhan real ketua, terkait kesejahteraan, kemakmuran (prosperity) dan keamanan (security). Dalam kerangka ini wakil hendaknya memahami betul “ilmu-kerakyatan” yang berbicara tentang hakikat rakyat. Dalam konteks perwujudan kesejahteraan dan keamanan rakyat melalui pembangunan, entah tingkat nasional atau tingkat daerah, istilah ‘rakyat’ tidak sekedar berarti ‘penduduk’ suatu negara atau daerah, tetapi lebih dalam arti “the common people”, “rakyat biasa atau rakyat jelata”, yang pada umumnya masih merayap kesejahteraannya. Itulah makna ‘rakyat’ dalam konteks politik pembangunan nasional sebagaimana dimaksud oleh Pasal 33 UUD 1945.
Dalam konteks sebuah negara hukum yang bersifat demokratis, seperti Indonesia, yang demokrasinya adalah ‘demokrasi-perwakilan’, maka keberadaan dan kehadiran para ‘wakil rakyat’ itu dimaksudkan untuk menegakkan ‘kedaulatan rakyat’. Keberadaan dan kehadiran mereka bertujuan agar penyelenggaraan pemerintahan negara atau daerah tetap berada dalam kontrol masyarakat.
Di sini, kita berhadapan dengan suatu “realisme demokratis” dalam sistem demokrasi perwakilan, yaitu “elitarisme”. Dengan istilah “elitarisme” mau dikatakan bahwa para wakil rakyat yang dipilih melalui mekanisme pemilihan umum itu adalah orang-orang yang dinilai mampu dan layak untuk mengemban fungsi sebagai wakil rakyat. Kemampuan dan kelayakan ini menunjukkan bahwa para wakil itu adalah ‘bukan sembarang orang’, melainkan ‘orang-orang pilihan, orang-orang terbaik, orang-orang andalan’. Sifat inilah yang menimbulkan ‘elitarisme’. Para wakil adalah ‘orang elite, orang pilihan, orang andalan, orang terbaik dari yang terbaik, the best of the best’, atau yang lazim disebut ‘elite politik’.
Atas dasar uraian singkat tentang ‘wakil-rakyat; di atas, saya mempersilakan pembaca untuk menganalisis lebih lanjut perilaku segelintir wakil rakyat Malaka yang bersenang-senang dalam pakaian kebesaran mereka di rumah rakyat yang terhormat, di tengah kondisi gawat pandemi covid-19 yang melanda seantero negeri, tanpa menaati aturan protokol kesehatan.
Saya sendiri berharap agar para wakil rakyat Malaka terus membenahi dan membekali diri semaksimal mungkin agar citra diri mereka sebagai ELITE POLITIK tidak tercoreng, dan Kabupaten Malaka sebagai kabupaten bungsu di Propinsi NTT dapat maju sejajar dengan kabupaten lain bahkan melampaui. Semoga! (***)