Viggo Pratama Putra, Foto Istimewa
Komplikasi Permasalahan Agraria dan Isu Lingkungan Hidup
Oleh Viggo Pratama Putra
- Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara/Universitas Negeri Padang
- Wakil Presiden Wadah Pejuang Penegak Solusi Politik (WPPSP) 2019/2020
- Penggiat Literasi
Indonesia adalah negara agraris. Mungkin lantunan kata-kata ini sudah sering atau bahkan merupakan kalimat wajib para guru dalam menggambarkan situasi kondisi bumi Nusantara yang kaya raya dari segala segi terkhusus segi keagrariaan tanahnya maupun sumber daya hayatinya yang berlimpah.
Sungguh sesuatu yang membanggakan bagi kita sebagai warga negara Indonesia dapattinggal, hidup, tumbuh dan berkembang di wilayah yang penuh dengan kekayaan sumber daya alamnya ini. Tapi semakin lama kekayaan itu malah terasa seperti hanya tinggal titel berupa julukan belaka disaat kompleksitas problematika agraria serta isu lingkungan hidup menghampiri negeri kita tercinta ini.
Hal itu dapat terjadi karena semakin kompleksnya masalah yang dihadapi, apakah itu dari sisi pemerintah ataupun berasal dari sisi masyarakat. Sebut saja masalah pertikaian akibat konflik pengadaan, pemetaan dan penggusuran tanah, tergerusnya kekayaan hayati alamiah Nusantara akibat aktivitas tambang, karikatur permainan sumber daya alam dari tanah bumi pertiwi yang tak ada habis-habisnya untuk dibahas, hingga permasalahan dari segi fisiologi geografis yang timbul berefek dari dampak pemindahan pusat ibu kota negara ke Pulau Kalimantan yang terkenal sebagai salah satu pulau dengan keasrian hutan yang masih alamiah dan terjaga hingga saat ini, terakhir tak lupa pula masalah kebakaran hutan dan lahan yang sampai hari ini masih terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Dari kasus letusan konflik agraria periode 2014-2018 contohnya, di mana saat itu menimbulkan banyak korban di antaranya 41 orang diduga tewas, 546 dianiaya hingga 51 orang tertembak. Hal itu dipaparkan dalam Catatan Akhir Tahun 2018 yang diterbitkan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Dewi Kartika, Sekjen KPA, menyatakan konflik tanah menyebar di seluruh Indonesia, didominasi oleh Provinsi Riau, Sumatra Utara dan Jawa Barat sejak 2014. Pada akhir tahun lalu, Riau menyumbang sebesar 42 konflik, Sumatra Utara 23 konflik dan Jawa Barat.Luas konflik tanah sendiri mencapai 807.177 hektare dengan didominasi sektor perkebunan sawit yakni mencapai 591.640 hektare. Lainnya antara lain adalah kehutanan (65 ribu hektare); pesisir (54 ribu hektare); dan pertambangan (49 ribu hektare).
Itu baru dari segi permasalahan konflik agrariapertanahan, belum lagi dampak dan korban yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan yang juga tidak kalah banyak, hingga bagaimana efek dan dampak yang akan timbul terhadap ekosistem alamiah tanah dan hutan di Pulau Kalimantan pasca putusan final pemindahan pusat pemerintahan yang segera akan dilakukan pemerintah, termasuk ekosistem alam yang terganggu dengan aktivitas eksploitasi sumber daya alam yang menghasilkan limbah yang dapat membuat lingkungan tercemar hingga mengganggu aktivitas warga sekitar lokasi tersebut.
Dalam membicarakan rencana besar seperti pemindahan ibu kota negara dan pembangunan/pembukaanarea tambang yang ada, pemerintahdiwajibkan harus menyiapkan manajemen persiapan yang matang, terkhusus dari segi peninjauan dampak jangka pendek maupun jangka panjang terhadap alam yang dapat terjadi.Semuanya harus segera dibuatkan perhitungan mendetail agar mencegah rusaknya ekosistem alam yang merupakan investasi masa depan kelangsungan hidup anak cucu bangsa kelak.
Seiring dengan perjalanan revolusi industri era digital yang memaksa Indonesia untuk berani melampaui batas kemajuan dengan memanfaatkan teknologi informatika, harusnya konflik permasalahan bersifat agraria ini dijadikan perhatian lebih pemerintah terhadap pembangunan ke dalam internal kehidupan negara bermasyarakat.
Karena jika konflik-konflik semacam ini dapat dihindari setidaknya pemerintah telah mampu menjalankan fungsi utamanya menjaga dan mampu adil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Inipun tentu akan memantik kesadaran hukum yang dijunjung tinggi setiap warga negara, yang tentunya dijunjung dengan falsafah keadilan tertinggi.
Apapun permasalahan yang terjadi terkait konflik agraria, semua harus berujung pada kesejahteraan masyarakat banyak, selaras dengan bunyi padaUU No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria yang menyebutkan bahwa hukum agraria nasional harus memberi kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa, sebagai yang dimaksud di atas dan harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi pula keperluannya menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria dimana selalu berpedoman terhadap aturan yang berasaskan sila-sila pada pancasila yang menekankan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Setali tiga uang dengan aturan pokok-pokok agraria, pada UU No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup juga menyebutkan dalam hal perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Polarisasi serius dalam hal peningkatan pengawasan lingkungan hidup juga ditunjukkan pemerintah dari dahulu, di antaranya dengan mengeluarkan UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 yang mengatur tentang Tata Guna Tanah. Menerbitkan UU No. 4 Tahun 1982, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Memberlakukan Peraturan Pemerintah RI No. 24 Tahun 1986, tentang AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan).
Pada tahun 1991, pemerintah membentuk Badan Pengendalian Lingkungan, dengan tujuan pokoknya: Menanggulangi kasus pencemaran, mengawasi bahan berbahaya dan beracun (B3), melakukan penilaian analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), pemerintah mencanangkan gerakan menanam sejuta pohon dan upaya Pelestarian Lingkungan Hidup oleh Masyarakat Bersama Pemerintah. Sebagai warga negara yang baik dan patuh terhadap hukum serta memiliki jiwa sosial yang tinggi, masyarakat harus memiliki kepedulian yang tinggi pula terhadap kelestarian lingkungan hidup di sekitarnya sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Terhadap refleksinya, masyarakat sebenarnya mempunyai banyak cara dan usaha yang bisa dilakukan untuk melestarikan alam. Salah satunya adalah upaya pelestarian lingkungan hidup yang dapat dilakukan dengan cara mengajak masyarakat untuk ikut serta dalam kegiatan menanam pohon atau penghijauan kembali (reboisasi) terhadap tanah yang semula gundul.Titik balik selanjutnya berupa upaya pemerintah untuk mengkampanyekan pelestarian alam dalam kehidupan dan secara langsung turun dalam masyarakat.
Pemerintah bisa melakukan kampanye melalui media sosial dan media massa seperti mengkampanyekan dalam media televisi ataupun iklan dan tentu harus memanfaatkan teknologi di era digital saat sekarang. Semakin banyak cara pemerintah dalam mengambil hati masyarakatnya maka akan semakin terlaksananya suatu program yang berujung pada suatu keuntungan bagi masyarakat banyak.
Maka dari itu kita sebagai masyarakat harus mendukung program-program pemerintah yang merupakan suatu keuntungan bagi masyarakatnya sendiri seperti upaya penghijauan atau pelestarian alam. Dan yang terpenting adalah masyarakat sebagai hakikat esensi manusia yang hidup berdampingan dengan alamsudah menjadi kewajiban untuk menjaga dan melestarikan alam agar tidak terjadi berbagai masalah maupun bencana alam.
Dari aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah tersebut secara jelas dan tegas mengambarkan bagaimana keseriusan pemerintah dalam menjaga asas keadilan secara konstan terhadap upaya penegakan hukum dan bentuk perhatian berupa kesiapsiagaan pemerintah kepada masalah yang menyangkut terganggunyaekosistem alam di Indonesia.
Sebagai bagian dari struktur kewarganegaraan Indonesia, kita wajib ikut berpartisipasi aktif menjaga dan mengawasi langsung jalannya aturan yang ditegakkan pemerintah dan ikut serta merta membersamai pemerintah memberantas setiap fenomena masalah yang timbul di dalam kehidupan bermasyarakat. Semoga dengan terjalinnya kerjasama yang apik dari komponen pemerintah dan masyarakat tersebut diharapkan Indonesia di masa depan tetaplah akan menjadi negara agraris yang benar-benar bertahan sebagai inventaris paling berharga bagi manusia di masa depan. (*)