Melki Laka Lena, Foto: Istimewa
Sinergi Bersama Cegah Politisasi Penegakan Hukum
Oleh
Melki Laka Lena
Ketua DPD Partai Golkar Propinsi Nusa Tenggara Timur - DPR RI terpilih
Politik dan hukum selalu bertalian. Berhubungan erat sukar dipisahkan. Semangat pemberantasan korupsi yang kemudian melahirkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejatinya tidak melumpuhkan penegak hukum lain. Dan terus saling menyerang dengan berbagai lembaga negara lainnya.
Perjalanan 17 tahun pemberantasan korupsi yang dipimpin oleh KPK saat ini, tengah dibahas untuk dievaluasi DPR RI melalui revisi UU KPK. Presiden Jokowi telah memberikan persetujuan dan menugaskan Menkumham dan Menpan untuk membahas hal tersebut bersama DPR RI.
Saat yang sama, pemerintah melalui pansel telah memutuskan 10 anak bangsa terbaik untuk dipilih DPR RI menjadi 5 komisioner KPK. Proses uji kelayakan di pansel dan saat ini di DPR RI tentu juga menimbulkan pro kontra di berbagai kalangan.
Reputasi tim pansel yang kredibel dari berbagai latar belakang tetap saja jadi persoalan bagi pihak keinginannya tidak tercapai. Pro kontra semacam ini terjadi di semua kalangan yang paling mengkhawatirkan terjadi juga di KPK.
Perdebatan pendapat terkait sanksi untuk petinggi Polr, mantan orang KPK yang saat ini lolos 10 besar Firli antara 2 wakil ketua KPK Saut Situmorang dan Alexander Marwata salah satu contohnya.
Intern KPK paling tidak diwakili oleh Saut ingin Firli tidak lolos seleksi di DPR RI dan Alex walau sebagai kompetitor komisioner KPK justru berbeda pendapat. Soal Firli menjadi contoh nyata dan terang urgensi KPK perlu dibenahi kembali menjadi motor pemberantasan korupsi yang solid dan efektif.
KPK juga seperti kebetulan memanggil petinggi parpol atau jaringannya misalnya dari PAN, Golkar, PKB untuk diperiksa dalam kasus korupsi dan selalu dengan cerita menarik yang menyertainya. Petinggi parpol dan jaringannya yang berasal dari berbagai parpol dipanggil saat revisi RUU KPK.
Pemilihan komisioner KPK sangat mudah dibaca bagian dari penggunaan kewenangan KPK untuk mempengaruhi langsung atau tidak langsung, yakni dua agenda yang sedang berjalan di senayan.
Pengamat dan rakyat kebanyakan dengan mudah memberi penilaian semacam ini. Sehingga makin menguatkan stigma bahwa KPK sedang melakukan politisasi penegakan hukum.
KPK sebagai bagian dari sistem hukum dan sistem pemerintahan di Indonesia harus menyatu. Tidak terpisah dengan institusi hukum atau lembaga negara lainnya.
Revisi UU KPK dan pemilihan komisoner KPK yang melibatkan pemerintah, DPR RI dan masyarakat sipil melalui tim pansel. Mestinya membuat semua komponen bangsa tanpa kecuali bersama sama melalui proses ini secara dewasa dan tenang.
Semua pihak bisa jalankan tugasnya dengan baik tidak saling sandera. Duduk bersama musyawarah mufakat mencari solusi terbaik tanpa saling menyerang dan berprasangka.
Kalau masing masing pihak unjuk kekuatan. Maka yang dikorbankan masa depan dan nasib rakyat Indonesia, dalam hal pemberantasan korupsi dan penegakan hukum.
Pembahasan revisi RUU KPK dan pemilihan komisioner KPK dalam waktu tersisa harus berjalan dengan terbuka dan akuntabel oleh DPR RI dan pemerintah. Masukan sekritis apapun dari masyarakat sipil termasuk KPK wajib didengar untuk diakomodasi oleh DPR RI dan pemerintah.
Masyarakat sipil juga KPK tidak perlu berprasangka negatif dan membiarkan DPR RI dan pemerintah berjalan sendiri. Memutuskan keputusan terkait dua isu penting pemberantasan korupsi.
Untuk mencegah lahirnya UU KPK oleh DPR RI dan pemerintah yang memberi ruang politisasi penegakan hukum. Harusnya masyarakat sipil juga KPK harus aktif terlibat mengawal proses pembahasan di parlemen.
Saat yang sama, KPK tetap jalankan tugas penegakan hukum secara apa adanya. Dan tidak memberi kesan lakukan politisasi hukum dengan memanggil petinggi parpol dan jaringannya pada saat ini dalam rangka mempengaruhi langsung atau tidak langsung proses di senayan.
Debat publik yang terbuka dan rasional berbagai pihak terkait isu pemberantasan korupsi dan penegakan hukum lebih efektif bagi publik, daripada saling sandera dan unjuk kuasa kewenangan.
Penegakan hukum yang dikesankan sekedar sebagai upaya politisasi hanya melahirkan respon serupa dari berbagai lini. Sejatinya, pemberantasan korupsi harus menjadi spirit dan praktek di semua lini. Baik aparat hukum KPK, polri, jaksa, hakim dan pengacara juga pemerintah dan legislatif di semua tingkatan, swasta dan masyarakat sipil.
Semua pihak harus segera duduk bersama. Bersinergi satu sama lain dengan kepala dingin. Dengan demikian, proses politik di DPR RI dan proses hukum di KPK juga hubungan kerjasama dengan institusi hukum dan lembaga negara lainnya bisa berjalan sesuai rel. Semua pihak bersinergi satu sama lain untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara Indonesia. (*)