Indonesia Diselimuti Asap, Pemerintah Kemana?

Viggo Pratama Putra, Foto Istimewa

Indonesia Diselimuti Asap, Pemerintah Kemana?

                                                                                                       

Oleh Viggo Pratama Putra

  •  Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara/Universitas Negeri Padang
  • Wakil Presiden Wadah Pejuang Penegak Solusi Politik (WPPSP) 2019/2020
  • Penggiat Literasi

 

Hutan hijau Indonesia terkenal dengan sebutan sebagai paru-paru dunia. Hal ini tidak terlepas dari kesuburan tanah serta letak geografis Indonesia yang berada pada lintas garis khatulistiwa.

 

Keanekaragaman struktur alam hayati Indonesia yang begitu kaya membuat suatu prestasi tersendiri serta kebanggaan bagi bangsa dan negara. Di lain sisi ini juga merupakan tugas yang harus dijalankan dengan serius beserta penanganan preventif yang tepat sasaran terhadap kemungkinan-kemungkinan yang mengancam ekosistem alamiah hutan Indonesia.

 

Sesuatu yang miris memang jikalau kita melihat permasalahan yang menimpa kekayaan hayati Indonesia yakninya hutan. Akhir-akhir ini, permasalahan kompleks rumah tangga yang selalu terulang seperti ini selalu saja memantik rasa marah kita.

 

Amarah sebagai rakyat Indonesia terhadap problematika kebakaran hutan dan lahan yang terus saja terjadi tanpa adanya penanganan serius secara tegas baik itu dari pemerintah maupun pihak-pihak yang berperan terhadap pengrusakan dan pembakaran hutan tersebut. Betapa menyedihkannya saat kekayaan alam berupa hutan alami yang sering dipuji-puji dunia namun malah dengan kejinyadirusak oleh tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab.

 

Pengrusakan hutan seperti pembakaran yang terus menimpa hutan dan lahan terus berulang hampir setiap tahun di Indonesia. Ketika memasuki musim kering apalagi musim kering ekstrim (El Nino) seperti saat ini kebakaran hutan, lahan dan perkebunan masih saja banyak terjadi di berbagai pelosok.

 

Kebakaran hutan lindung sampai kebakaran perkebunan meskipun sudah diantisipasi dan diingatkan jauh-jauh hari, kebakaran juga tetap berulang terjadi. Ketika kebakaran hutan dan perkebunan sudah terjadi seperti saat ini, semua pihak cenderung labil dan gamang, saling menyalahkan serta tak jarang logika yang dipakai jungkir balik.

 

Cara melihat pandangan atas kebakaran yang terjadi kaitannya dengan logika yang jungkir balik seperti itu, selain melanggar asas praduga tak bersalah juga tidak menyelesaikan masalah sesungguhnya. Secara teoritis kebakaran hutan dan lahan dapat terjadi akibat beberapa faktor yaitu faktor alam dan manusia atau kombinasinya. Faktor alam seperti musim kering dan kondisi hutan/lahan yang mudah terbakar.

 

Sedangkan faktor manusia adalah bersifat kelalaian atau malah disengaja. Apakah faktor alam atau manusia yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan? Perlu ditelaah dan dicermati lebih lanjut. Jangan-jangan untuk kebakaran hutan dan lahan kita berhadapan dengan alam atau sesuatu yang belum kita ketahui di luar variabel manusia atau masyarakat.

 

Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), luas kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dalam periode Januari sampai akhir Agustus 2019 mencapai 328.724 hektare. Provinsi Riau merupakan wilayah terluas yang mengalami kebakaran hutan yakni mencapai 49.266 hektar. Disusul Kalimantan Tengah seluas 44.769 hektare.

 

Kebakaran ini menimbulkan kabut asap yang tebal. Bahkan Malaysia dan Singapura mengklaim menerima kiriman kabut asap dari Indonesia. Menanggapi hal tersebut, Kepala Badan Meteologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati mengatakan bahwa kabut asap imbas karhutla di beberapa wilayah di Indonesia tidak sampai melintas ke negara tetangga.

 

Ia berucap “Kami memantau hotspot menggunakan satelit Himawari yang dianalisis lebih lanjut dengan sitem geo hotspot di BMKG. Kami sudah memantau sejak Juli hingga kini. Titik-titik api menunjukkan ada di Indonesia dan ASEAN. Di Serawak, juga sudah muncul, di Filipina dan semenanjung Malaysia. Di Riau, ada tapi belum rapat”. Permasalahan ini pun juga menjadi polemik ajang saling tuduh akan permasalahan yang terjadi.

 

Bahkan lebih parahnya berdampak terhadap kehidupan masyarakat di Pulau Sumatera maupun Kalimantan terkhusus di Riau yang merasakan tebalnya asap yang dihasilkan oleh pembakaran tak bertanggungjawab ini. Seperti gangguan penglihatan, penyakit, hingga aktivitas yang terhambat akibat pembakaran hutan dan lahan menambah persoalan yang semakin merumit hingga menambah masalah-masalah lainnya.

 

Contohnya saja ada beberapa warga yang bahkan lemas hingga perlu pengobatan lebih lanjut karena efek dampak kabut asap berpenyakit yang melanda warga di Provinsi Riau. Hingga biaya hidup warga Riau yang naik gara-gara kabut asap serta diliburkannya sekolah karena status berbahaya yang diakibatkan kumpalan asapudara berpenyakit ini.

 

Kabut asap yang membuat warga tak nyaman ini membuat sejumlah mahasiswa melakukan pergerakan menuntut Gubernur Riau Syamsuar untuk pulang dari Thailand dan segera berbenah mengatasi permasalahan ini.

 

Terlebih lagi, akibat kabut asap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di Provinsi Riau, 5 wilayah kota dan kabupaten dinyatakan ada dalam kondisi udara yang berbahaya. Status bahaya ini ditetapkan oleh Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion (P3E) Sumatera Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau yang menilai kualitas udara yang buruk dan berbahaya bagi kesehatan.

 

Peringatan berbahaya ini sekaligus juga merupakan peringatan berbahaya bagi aset penting bangsa dan negara yang fundamental. Masyarakat sebagai warga negara dan alam sebagai anugerah alamiah yang indah dari Tuhan. Yang harus selalu siap dijaga dan dibela oleh orang-orang yang tinggal di dalamnya. Sebuah bentuk permasalahan determinasi yang menekan objek melalui sebab akibat permasalahannya.

 

Memang dalam menangani masalah ini, aparat TNI dan Polri kita sudah bergeser tugasnya menjadi pemadam kebakaran. Sampai dengan saat ini kebakaran hutan dan lahan masih terjadi dan berlangsung mulai dari kebakaran hebat pada tahun 2015 hingga sekarang 2019 masih saja terus terjadi. Aparat TNI Polri terlibat dalam upaya penanganan masalah ini. Kita menghargai kontribusi dan keterlibatan TNI dan Polri terkait dengan permasalahan karhutla ini.

 

Pemerintah mengatakan musim kemarau menjadi faktor utama kebakaran hutan dan lahan dan mempersulit proses pemadaman. Ada yang bilang kebakaran yang terjadi sekarang karena perubahan iklim. Ini sebenarnya kita bicara duluan mana ayam dan telur.

 

Berangkat dari tema besar perubahan iklim, menyebabkan perubahan musim di mana musim kemarau menjadi lebih panjang dibanding musim hujan, dan waktunya tidak periodik seperti dulu lagi. Hal ini menyebabkan material yang mudah terbakar menjadi kering seperti pohon dan gambut.

 

Lalu ada pembukaan lahan, pembukaan lahan dilakukan dengan cara land clearing. Atau dibalik, pembukaan lahan untuk investasi perkebunan dilakukan dengan membuka kanal, gambut kering, emisi lepas, akhirnya terjadi perubahan iklim. Begitu banyak olah narasi akan hal tersebut.

 

Pada tahap yang sudah seperti ini, pemerintah pada hakikatnya harus sigap menangani masalah yang ada. Dengan menerjunkan bantuan dengan cepat agar kebakaran hutan dan lahan ini tidak semakin melebar atau kedepan hanya akan menambah titik api yang baru, dan langkah seperti inipun harus disertai tindak tegas secara hukum sebagai instrumen pengikat yang akan memberi efek jera oleh pemerintah terhadap oknum-oknum yang bermain dan memanfaatkan peluang yang malah akan bertujuan merusak ekosistem hutan Indonesia.

 

Langkah-langkah preventif dan komprehensif pemerintah ke depan sangat diperlukan untuk tahap pencegahan dari awal dalam menanggulangi kemungkinan pembalakan maupun pembakaran hutan secara sengaja maupun tidak sengaja. Prosedural ini juga, harus didukung dan disokong oleh masyarakat agar mempermudah penyelesaian permasalahan. Karena jika keasrian serta kealamian hutan sebagai anugerah alam Indonesia terjaga maka kita secara tidak langsung akan berperan menjaga aset paling berharga berupa kekayaan hayati alami untuk kelak kemudian dapat dilihat dan dinikmati oleh anak cucu bangsa ke depan. (*)