Ludji He, Pahlawan yang Menggemparkan Dunia Perlu Dikenang

Pose Bersama Cucu Cece Julian Hendrik Usai Perenungan Hari Pahlawan

Menia, Pelopor9.com – Dalam rangka memperingati hari pahlawan 10 Nopember 2022, masyarakat desa Eimau, kecamatan Sabu Tengah, kabupaten Sabu Raijua mengenang perjuangan pahlawan perintis kemerdekaan, Julian Hendrik atau Ludji He dengan membakar lilin dan doa bersama di monumen makam Julian Hendrik di desa Eimau, Kamis (10/11/22).

 

“Ini merupakan kali kelima kita merenungkan di monumen yang penuh dengan sejarah ini,”kata cucu dari Julian Hendrik, Epaferditus He, ketika menyampaikan kata hati keluarga pada malam perenungan.

 

Keluarga Julian Hendrik sangat merindukan merayakan hari pahlawan yang lebih meriah dari tahun –tahun sebelumnya, seperti mengundang banyak orang, membuat berbagai perlombaan kegiatan. Apalagi pahlawan perintis kemerdekaan Julian Hendrik berasal dari Sabu Raijua, agar orang Sabu Raijua perlu mengenang perjuangannya.

 

“Tempat ini menjadi tempat yang sangatlah terhormat, tempat belajar bagi masyarakat Sabu Raijua,”katanya

 

Dia berharap renovasi pembangunan makam Julian Hendrik segera rampung, dimana masih tersisa beberapa item pekerjaan seperti pembangunan relief, dan pagar pengaman. “Bagaimana kita melanjutkan terus tempat ini, sebagai tempat belajar terutama bagi generasi penerus,”pungkasnya.

 

Kepala desa Eimau, Nataniel Lodo Djara dalam sambutannya mengaku prihatin dengan tidak adanya dukungan pemerintah daerah dan pihak terkait dalam merayakan hari pahlawan. Pasalnya, perayaan hari pahlawan mestinya menjadi kebanggaan bersama untuk mengenang para pejuang yang telah gugur dalam membela Indonesia.

 

“Suatu hal yang menjadi sebuah kebanggaan kita, semua orang Sabu Raijua. Saya merasa prihatin, bahwa untuk mengenang jasa para pahlawan kita, sepertinya semakin turun,”katanya.

 

Generasi sekarang, kata dia, tidak lagi terlalu berpikir cara berjuang dengan senjata, walau demikian tetapi ada beberapa yang harus diperangi sekarang seperti perang melawan Stunting dan Corona.

 

“Kalau kemarin kita dengan bambu runcing saja kita berjuang untuk kemerdekaan. Tetapi sekarang kita perang melawan ekonomi, perang lawan penyakit/ virus,”katanya.

 

Lanjutnya, para pejuang dahulu berjuang sampai titik darah penghabisan, nyawa menjadi taruhan demi membela tanah air dan rakyat Indonesia. “Seorang pahlawan itu tidak gampang, dia sudah merelakan nyawa sekalipun untuk kita semua, sebagai penghargaan kita harus ingat, jangan hanya bakar lilin saja, kita harus wujudnyatakan,”tegasnya.

 

Dalam perenungan itu dibacakan riwayat perjuangan Julian Hendrik ditulis oleh sejarawan Indonesia yang juga wartawan senior, Peter Apollonius Rohi (alm).

 

Dikisahkan Julian Hendrik atau dengan nama Sabu Raijua Bangngu Ludji He salah satu yang memimpin pemberontakan di atas Kapal Perang Belanda De Zeven Provincien atau Kapal 7 pada tanggal 10 Februari 1933.

 

Ludji He adalah orang pertama yang tatkala berusia 24 tahun, pada 3 Februari 1933 mengajak teman -teman marine kru kapal perang De Zeven Provincien untuk merebut kapal milik penjajah itu. "Revolusi sekarang juga!", ajaknya pada teman – temannya dalam sebuah pertemuan di Gedung bioskop Ulele, Kutaradja (kini Banda Aceh).  .

 

Maka keesokan harinya para pelaut pribumi menawan para perwira Belanda, menguasai dan melarikan kapal itu.  Pers asing mempermalukan Belanda, karena peristiwa begitu adalah pertama kali di dunia.

 

Tak tahan dipermalukan, apalagi kapal - kapal perang lain yang mengejar diancam akan ditembak oleh Martijn Paradja, Gubernur General Belanda De Jonge memerintahkan pesawat terbang Dornier membom kapal perangnya sendiri.

 

Bom seberat 50 kg yang jatuh di atas geladak menewaskan Martijn Paradja, Gossal, Rumambi serta 23 prajurit marine, sedang Julian Hendrik dan Jermias Kawilarang bersama lebih seratus teman -temannya ditangkap dan dipenjarakan di penjara militer di Sukolilo, Madura. 

 

Ketika Indonesia merdeka, para pelaut eks pemberontak dipanggil kembali.  Tetapi kebanyakan mereka sudah tidak dikenal alamatnya.

 

Bung Karno memerintahkan memindahkan kerangka Martijn Paradja dan teman-temannya yang dikuburkan secara massal di Pulau Kerkhof (Pulau Kelor) di gugusan Kepulauan Seribu ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.

 

Kawilarang sendiri meninggal di Tanjung Pinang dan dimakamkan di pemakaman Kristen di koa itu. Lalu Julian Hendrik pulang dengan membawa surat merah ke kampung halaman di Eimana, tak kemudian meninggal dan dikuburkan dalam kepercayaan lokal, Jingitiu. (R-1)