OPINI: Seberkas Sinar untuk HAM di Indonesia

Yoga Pratama, Foto: Istimewa

Seberkas Sinar untuk HAM di Indonesia

oleh

-Yoga Pratama-

        

            Bicara mengenai HAM, kita tahu bahwa HAM merupakan hak yang sudah melekat pada diri manusia sejak terlahir ke dunia ini, mulai dari hak untuk hidup, hak bebas berpendapat, hak kesehatan, hak politik, hak sosial, hak ekonomi, dan sebagainya.

 

Kemudian daripadanya, melalui garis panjang komunitas manusia yang berawal dari community sepakat untuk membentuk Negara. Tujuannya adalah sebagai wadah legal dan kuat dalam menjamin hak-hak tersebut dapat terpenuhi dengan baik. Pun demikian, pada tanggal 10 Desember kita memperingati hari HAM Internasional atas dasar kesepakatan PBB yang melakukan Declaration Human Right’s skala Internasional yang tujuannya untuk memenuhi keadilan sosial atas kemanusiaan.

 

Bahkan, Indonesia kembali terpilih sebagai anggota Dewan HAM PBB periode 2020-2022 saat pemilihan di New York, AS pada 17 Oktober 2019. Apakah pencapaian tersebut patut kita apresiasi atau jadi bahan evaluasi bagi kita terkait HAM di Indonesia?

 

Apakah HAM di Negara kita ini terpenuhi atau terlaksana dengan baik, sebagaimana sama-sama kita ketahui masih banyak masalah HAM yang belum terpecahkan atau bahkan tidak mau dipecahkan oleh pihak berwajib di Negara kita tercinta ini?

 

Sehingga atas dasar kondisi tersebut, bagi Penulis terdapat suatu hal yang menggelitik atas pernyataan Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi terkait Indonesia terpilih sebagai dewan HAM PBB.

 

“ini adalah amanah dan bukti kepercayaan masyarakat Internasional kepada Indonesia. Amanah ini insya ALLAH  akan kita tunaikan sebaik mungkin”.

 

Terlepas dari lobi dan kampanye yang dilakukan oleh diplomat dan duta kita pada Negara-negara anggota PBB. Kita bertanya, bagaimana bisa dunia internasional percaya kepada Indonesia? Sedangkan masalah HAM di Indonesia saja belum terselesaikan dengan baik.

 

Namun bukan suatu masalah, sebab hal itu benar-benar perlu kita apresiasi dan mengevaluasi besar-besaran terhadap kasus HAM di negeri kita selama ini sebagai amanat konstitusi “ikut menjaga keamanan dan ketertiban dunia serta mewujudkan keadilan sosial”.

 

Untuk itu, kita perlu bahas bagaimana komitmen pemerintahan kita dalam mencari titik terang atas masa kelam HAM di garis sejarah Negara kita.

 

Kegelapan HAM di Indonesia

 

            Masih banyak masalah HAM di Indonesia yang belum kita selesaikan dengan serius, mulai dari pelanggaran HAM sejak Orde Lama pembantaian PKI, Orde Baru seperti tragedi kerusuhan Mei 1998, tragedi Semanggi 1 dan Semanggi 2, hilang paksa Wiji Thukul, pembunuhan Munir dan lain sebagainya.

 

Jika kita tarik ulur penyebabnya, penulis menilai hal tersebut dipicu dari kondisi politik, ekonomi, dan sosial negara kita.

 

Di masa ORLA, pembantaian PKI dipicu dari perpolitikan Negara atas dasar “kestabilan Negara”. Selanjutnya, pada masa ORBA, kita mengalami krisis moneter yang nilai tukar rupiah terhadap dolar bisa dibilang tidak masuk akal sekali ditambah dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga minyak 70 persen dan harga listrik 300 persen sehingga membuat masyarakat geram dan menggelar demonstrasi, tepat tanggal 12 Mei 1998 demonstrasi digelar tapi sayangnya demonstrasi tersebut disambut oleh hujan peluru kepada orang-orang yang rela berjuang demi kesejahteraan rakyat, apakah tindakan tersebut pantas dan adil?

 

Apakah mereka lebih hina dari pada para lintah berdasi yang menghisap darah rakyat kemudian pergi setelah kenyang dan berlindung dibalik kekuasaannya saat rakyat meminta hak-haknya, sehingga Negara menghadiahkan mereka dengan hujan peluru tersebut!

 

Hujan peluru tersebut mengantarkan 4 orang pahlawan menemui Tuhannya dengan saksi simbahan darah di jalan kebenaran.

 

Implikasi dari kemarahan rakyat yang membludak pada tanggal 13 mei 1998 mengakibatkan terjadi penjarahan, pengerusakkan dan pembakaran bahkan ada isu-isu pemerkosaan dan terus berlanjut sehingga tepat pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto pun mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden.

 

Merujuk laporan dari Polda Metro, tragedi semasa ORBA tersebut menyisakan pilu sebanyak 451 orang meninggal dan korban luka-luka lainnya yang tidak tercatat. Sedangkan jika menelusuri data yang dipaparan oleh Kodam Jaya, terdapat 463 meninggal dan 69 luka-luka.

 

Bukankah di sini kita sudah dapat memahami bahwa adanya kesimpang siuran jumlah korban. Sehingga yang ingin penulis tekankan di sini adalah bukan tentang jumlah korbannya, melainkan bagaimana keseriusan pemerintah dalam mengusut tuntas kasus HAM yang sebagai contoh penulis ambil dari kerusuhan Mei 1998 tersebut.

 

Pada 23 Mei 1998, Presiden Habibie membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) sebagai lembaga perbantuan pemerintah dan masyarakat dalam mengusut tuntas kekelaman HAM. Akan tetapi, laporan akhir dari TGPF malah menyatakan bahwa peristiwa kerusuhan tersebut merupakan bagian dari pergeseran-pergeseran politik.

 

Laporan data dan kepastian akan dalang maupun pertanggungjawaban masih belum jelas kita terima dan tidak memuaskan yang ditambah lagi dengan tidak ditindak lanjutinya oleh pemerintah sampai saat ini.

 

Bagi penulis selaku Sekjend Wadah Pejuang Penegak Solusi Politik menilai Negara kita ini mengabaikannya, seolah-olah sedang tidak terjadi apa-apa. Dan sebenarnya masih banyak lagi masalah HAM di negara kita ini, seperti di Papua belakangan ini, kasus di Nduga, Wamena, Abepura dan daerah lainnya.

           

Kilas Balik UU KKR dan Wacana Pengundangannya Kembali

 

Menyoal komitmen pemerintah dalam mengusut dan menyelesaikan kegelapan HAM di negeri kita, Undang-Undang KKR kembali tercium untuk diundangkan lagi melalui staf khusus presiden bidang komunikasi, Fadjroel Rahman mengatakan bahwa pemerintah sudah selesai menyusun naskah akademik dan draf rancangan undang-undang komisi kebenaran dan rekonsiliasi (RUU KKR). RUU KKR diwacankaan akan masuk dan menjadi prioritas prolegnas pada tahun 2020.

 

Sebelumnya Undang-Undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sudah disahkan, namun selang waktu dua tahun setelah KKR diundangkan Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU tersebut dengan rasionalisasi pada didalam UU ini tidak layak, seperti pasal 27 yang menjelaskan adanya kompensasi bagi keluarga korban dan pemberian rehabilitasi apabila amnesti dikabulkan;

 

Pasal 29 ayat 2 menjelaskan apabila pelaku mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada korban atau ahli warisnya tetapi korban atau ahli waris tersebut tidak mau memaafkan maka komisi memutuskan pemberian rekomendasi amnesti (pengampunan) secara mandiri dan objektif;

 

Dan juga pasal 29 ayat 3 menjelaskan apabila pelaku tidak mau mengakui kesalahannya serta juga tidak mau minta maaf maka pelaku kehilangan hak mendapatkan amnesti kemudian di ajukan ke pengadilan HAM ad hoc.

 

Sebagaimana pasal-pasal kontroversial dalam UU KKR No. 27 Tahun 2004 di atas jelas tidak adil. Sebab, pelaku yang tidak mau mengakui kesalahannya sebagaimana isi dalam pasal 27 amnesti dikabulkan barulah kompensasi diberikan kepada korban atau ahli waris, bagaimana mau diberikan amnesti pelakunya saja tak mau mengakui kesalahannya, padahal dalam undang-undang ini mau tak mau korban atau ahli waris harus dengan lapang dada memaafkan pelaku karena tak ada pilihan lain, dan yang mirisnya yang diberi pilihan adalah pelaku mau menerima kesalahan dan diberi pengampunan atau menolak menerima kesalahan. Sehingga UU ini sangat merugikan bagi pihak si korban.

 

Oleh sebab itu, menjadi masuk akal bagi kita terkait pembatalan UU KKR ini. Tapi belakangan ini tercium kembali akan dibahas dalam prolegnas 2020 untuk diundangkan melalui pernyataan staf khusus presiden bidang komunikasi Fadjroel Rahman.

 

UU KKR akan muncul dengan wajah baru, sebagaimana Fadjroel menjelaskan bahwa nantinya ada pemisahan antara rehabilitasi dengan amnesti, ada mekanisme yang jelas di dalam pengadilan HAM berdasarkan rekomendasi yang termaktub dalam KKR.

 

Jika kita bandingkan UU KKR yang sebelumnya, bahwa komisilah yang menentukan untuk pemberian amnesti. Dalam naskah akademik berupa kisi-kisi yang dibeberkan oleh Fadjroel yaitu akan  melewati mekanisme pengadilan HAM berdasarkan rekomendasi yang dikeluarkan KKR dan tidak bisa diputuskan secara sepihak oleh komisi.

 

Demikian daripada itu, melalui pengadilan HAM dan mekanisme yang jelas, adil dan komprehensif tentu memberikan kita harapan yang terbaik dan sesuai kenyataan. Sehingga misteri kegelapan HAM di Indonesia yang selama ini masih belum terungkap sedikit demi sedikit akan memperoleh kejelasan.

 

Olehnya, kita juga menyemogakan agar wacana UU KKR yang akan diundangkan kembali tidak menjadi sekedar wacana saja, tidak menjadi formalitas untuk kecukupan prolegnas saja, dan bukan hanya untuk menghamburkan-hamburkan uang Negara saja, harapannya bisa terealisasikan dengan baik dan menjadi motivasi untuk arah baru HAM yang cerah di Negara kita tercinta ini. Pun sekaligus sebagai batu loncatan atas prestasi Indonesia yang mewakili kawasan Asia-Pasifik di Dewan HAM PBB. (*)