Ikhsanul Akmal, Foto: Istimewa
HARI HAM INTERNASIONAL : Indonesia Masih Berdarah
Oleh
Ikhsanul Akmal (anggota PMM)
Tepat pada tanggal 10 Desember merupakan hari HAM (Hak Asasi Manusia) Internasional yang diperingati oleh setiap negara, termasuk Indonesia. Akan tetapi Indonesia masih saja diliputi cerita-cerita lama yang belum terbuka tabirnya. Mulai dari Orde lama, Orde baru hingga masa reformasi.
Indonesia tetap saja berdarah, tidak ada perhatian khusus pemerintah terhadap pelanggaran HAM yang terjadi. Jika ditilik dari Ringkasan Eksekutif Pelanggaran HAM Berat oleh Komnas HAM maka kita sepakat bahwa pemerintah masih memiliki banyak utang demokrasi kepada korban-korban pelanggaran HAM.
Mulai dari pembantaian di Simpang KKA aceh, Penculikan Wiji Tukul, Pembunuhan Munir, penyerangan terhadap Novel Baswedan, hingga pembantaian di Wamena dan kasus lainnya. Semua kasusnya tak pernah terungkap seolah menguap dan ditelan waktu sehingga dianggap selesai begitu saja.
Seharusnya pemerintah memberikan perhatian khususterhadap pelanggaran-pelanggaran HAM demi menegakkan sila kelima Pancasila yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”yang selanjutnya juga diatur dalam konstitusi dan undang-undang tentang HAM.
Di periode kedua presiden Jokowi penulis mengharapkan pemerintah bersedia membuka dokumen- dokumen lama untuk mengusut tuntas pelanggaran HAM masa lampau, menambah perhatian terhadap isu-isu pelanggaran HAM terkini, hingga penegakan hukum yang seadil-adilnya terhadap pelanggar HAM.
Filosofi HAM
Di Indonesia terdapat tiga filosofi HAM untuk menata kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara yang baik dan indah, yaitu Individualistis, Marxisme dan Integralistis.
Paham Individualistis atau sering juga disebut paham Liberal yang dikenalkan oleh Jhon Locke dan Jaques Rousseau adalah paham yang mengatakan bahwa manusia sejak kehidupan alamiah sudah memiliki Hak Asasi meliputi hak untuk hidup, hak kebebasan dan kemerdekaan, dan hak untuk memiliki.
Paham Marxisme adalah paham yang diambil dari seorang filsuf yang bernama Karl Marx. Menurut Marx manusia selalu terikat dengan kemasyarakatan yang beraktivitas dan terlibat dalam produksi.
Pemikiran ini dikenal dengan pemikiran Materialisme Historis atau Materialisme Dialektika. Dari paham ini pula paham komunisme lahir.
Paham Integralitas adalah konsep yang menolak otonomi individual atau otonomi pribadi.
Menurut Soepomo negara adalah Hukum yang mana jika negara berbahagia maka kebahagiaan pula bagi penduduknya yang mana mencintai tanah air.
Sebagaimana ketiga filosofi dan generasi HAM di atas telah diterapkan diIndonesia. Akan tetapi masih kerap mengalami kerancuan dalam praktiknya, sebut saja untuk kepentingan pribadi atau individu berdasar dari konsep HAM individualistik yang mencankup hak untuk hidup dan hak untuk memiliki.
Sedangkan unsur-unsur HAM yang memiliki kepentingan masyarakat atau sosial rancu pada kosep aliran Marxisme yang mana mencangkup hak untuk mendapat upah yang setara, hak mendapatkan jaminan sosial dan hak untuk berkumpul. Sehingga perlu kita ulas kembali bagaimana problematika HAM di Indonesia ini pernah terjadi dan belum diselesaikan.
Padahal semua filosofi HAM diatas sudah dimaktubkan nilai-nilainya pada ideologi negara (Pancasila), Konstitusi (UUD 1945), dan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Oleh sebabnya, perlu kita ulas lagi problematika HAM yang kerap terjadi di Indonesia demi mencapai solusi terbaik dan menyelesaikannya dengan tepat pula. Sebab Indonesia juga telah menjadi Anggota Dewan HAM PBB yang ke-lima kalinya, periode 2020-2022.
Problematika HAM di Indonesia
Masa peralihan dari orde lama ke masa reformasi pada tahun 1998 dipercayai menjadi loncatan demokrasi di Indonesia. Tesisnyaselalu dibanding-bandingkan dengan masa orde baru yang korup dan represif.
Banyak mekanisme-mekanisme baru yang bermunculan diberbagai bidang termasuk dibidang HAM, sialnya pelanggaran-pelanggaran HAM tetap saja terjadi, seperti misalnya kejahatan kemanusian di Timor Timur, pembunuhan Munir dan banyak lainnya.
Hingga pada tahun 2019 tercatat dari 15 kasus pelanggaran HAM pemerintah hanya mampu menyelesaikan 3 kasus saja, sedangkan 12 kasus lainnya masih belum memiliki titik temu.
12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum selesai diantaranya adalah kasus Tanjung Priok, kasus Timor Timur, kasus abepura, kasus penembak misterius, kasus Trisakti, kasus semangi 1 dan semangi 2, kasus talang sari, kasus simpang KKA, kasus rumah geudong.
Hal Ini menjadi patokan bahwasanya pemerintah memang tidak menaruh perhatian dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang seharusnya ini menjadi prioritas pemerintah.
Pada masa periode Jokowi-Jusuf kalla, penegakan HAM diIndonesia masih belum beranjak kekondisi yang lebih baik padahal, penegakan HAM tertuang dalam nawacita Jokowi-Jk.
Ini menjadi bukti bahwa isu penegakan HAM sendiri hanya menjadi bahan politis saja. Seharusnya pemerintah tak hanya menuangkan penegakan HAM pada kertas nawacita tersebut, tetapi pemerintah juga harus mampu mewujudkannya.
Kasus Pelanggaran HAM berat dimasa lalu masih menjadi PR untuk diselesaikan oleh kepemimpinan Jokowi diperiode kedua.
Pun begitu dengan periode kedua pak Jokowi, kita patut pesimis terhadap keseriusan pemerintah melalui Presiden Jokowi dalam penyelesaian kasus HAM. Sebab di dalam pidato politik Jokowi saat sidang pelantikan presiden dan wakil presiden.
Jokowi sama sekali tidak menyinggung soal penyelesaian kasus HAM. Padahal pada masa pemerintahan periode lalu Jokowi memasukkan penyelesaian kasus-kasus HAM dalam visi-misi pemerintahannya.
Harapan Penegakan HAM
Istana pertiwi yang dibangun semegah mungkin sampai saat ini masih memiliki utang demokrasi terhadap korban-korban pelanggaran HAM yang mesti dilunasi, baik itu dilakukan oleh oknum sipil maupun dari aparatur negara.
Pemerintah melalui Komnas HAM seharusnya berkerja sama dengan LSM untuk mengusut tuntas kasus-kasus lama yang terjadi di negeri berdarah ini.
Pendanaan negara terhadap LSM dalam mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM juga perlu diperlancar, sebab untuk mengusut kasus pelanggaran HAM negara tidak bisa berkerja sendiri.
Pun demikian edukasi terhadap Hak Asasi Manusia juga perlu ditingkatkan, tak hanya untuk masyarakat awam, mahasiswa tetapi juga untuk aparatur negara. Hingga pada akhirnya tranparansi terkait kasus pelanggaran HAM juga perlu ditekankan kepada pemerintah.
Tak hanya pemerintah masyarakat pun memiliki peran penting dalam penegakan HAM di Indonesia, masyarakat yang menjadi saksi kasus pelanggaran HAM harus berani buka mulut, melapor kepada pihak terkait agar memudahkan pemerintah dalam mengusut tuntas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
Maka oleh karena itu demi mewujudkan ketentraman bernegara dan bermasyarakat kita semua harus sadar bahwa kita terlibat dalam penegakan HAM di negeri ini.
Hak-hak pribadi maupun kelompok perlu dijaga oleh aparat negara dan perlu dihargai oleh masyarakat sipilAgar berkurangnya pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Hak asasi manusia merupakan anugerah pertama dan terbesar dalam suatu individu, maka individu atau kelompok yang merebut Hak asasi manusia-manusia lainya perlu dihukum seadil-adilnya.
Di hari Hak Asasi Manusia International yang jatuh pada tanggal 10 Desember, Penulis berharap penegakan HAM di Indonesia semakin baik. Dan kasus-kasus pelanggaran HAM yang lama segera ditemukan pelaku-pelakunya agar tidak adanya beban masa lalu dalam bernegara dan bermasyarakat.
Mengingat juga sebuah prestasi yang dicapai oleh pemerintah yang mampu memasuki Dewan HAM PBB perwakilan dari Asia-Pasifik. Semestinya HAM di Indonesia mampu dituntaskan! (*)