Oktovianus Seldy Berek, Foto Istimewa
Akabilan dan Identitas Orang Malaka
Oleh Oktovianus Seldy Berek
Akabilan merupakan salah satu jenis makanan khas orang Malaka. Orang Malaka mengkonsumsi Akabilan bukan berarti orang Malaka itu miskin dan lapar.
Akan tetapi, Akabilan merupakan cadangan makanan ketika memasuki musim paceklik. Jenis makanan tambahan ini digemari dan mudah diperoleh karena bahan bakunya mudah tersedia.
Bahan baku Akabilan berasal dari batang pohon gewang atau Sagu yang tua. Batang pohon Sagu dipotong dan diiris dalam bentuk berkeping-keping. Kepingan Sagu dikeringkan di bawah sinar matahari.
Lalu ditumbuk sampai halus menjadi tepung atau adonan. Tepung sagu direndam dalam wadah sambil diaduk supaya padat dan merata. Dalam bentuk lempengan, adonan sagu yang padat dikeluarkan untuk dipanggang di dekat tungku api hingga kering.
Adonan sagu dibuat berderai dan diletakan atau dipipihkan ke dalam piring ceper terbuat dari tanah liat yang disebut Babilak. Ada juga yang menyebutnya Babilan. Kemudian ditutupi dengan daun pisang untuk menjaga kebersihan dari asap api dan arang kayu. Proses memanggang sagu tidak menggunakan kompor.
Akan tetapi, kayu bakar pada tungku api yang berlangsung kurang lebih 10 menit lamanya. Sagu yang dipanggang dengan kayu api hasilnya lebih matang, merata dan sempurna.
Masakan sagu bakar itu disebut Akabilan dan terasa sedap, lesat dan gurih ketika dinikmati. Orang Malaka menyiapkan menu makan Akabilan dengan tambahan sup kacang hijau alami dan udang.
Akabilan merupakan jenis makanan tambahan di saat musim paceklik di antara jenis lain seperti ubi hutan dan porang (Maek). Akabilan memiliki kandungan gizi.
Panduan gizi Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Kabupaten Malaka menyebutkan dalam 100 gram sagu, terdapat kandungan karbohidrat sebesar 94 gram, protein sebanyak 0, 2 gram, zat besi sebanyak 1, 2 miligram, kalsium sebanyak 10 miligram dan serat makanan sebanyak 0, 5 gram.
Total kandungan gizi dalam 100 gram sagu dapat menghasilkan 355 kalori. Sedangkan dalam satu lempengan Akabilan terdapat energi sebesar 124, 3 kcal.
Akabilan bisa dipandang sebagai makanan kuliner lokal yang diminati banyak orang. Orang Malaka tidak hanya menjadikan Akabilan sebagai makanan tambahan.
Akan tetapi, sumber mencari nafkah hidup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, pendidikan, kesehatan dan urusan sosial kemasyarakatan lainnya.
Orang Malaka biasanya menjual Akabilan di pasar-pasar tradisional dan menjajakannya di tempat-tempat wisata. Tak disadari, Akabilan menjadi jenis makanan kuliner lokal yang juga digemari saat ini.
Selain Akabilan dikenal pula Akabeluk. Akabeluk bukan lagu daerah tetapi nyanyian rakyat. Nyanyian rakyat dengan irama ‘tumbuk sagu’ digelar untuk mempertemukan pemuda dan pemudi dari kampung yang satu dengan kampung yang lain.
Perjumpaan para pemuda dan pemudi antar kampung melalui nyanyian Akabeluk yang dilantunkan secara antifonal menjadi sarana menjalin persahabatan, persaudaraan dan kekeluargaan antar kampung khususnya dan masyarakat umumnya demi menjaga keharmonisan hidup dan tolerensi.
Tak pelak, nyanyian Akabeluk juga menjadi sarana mempertemukan sepasang kekasih untuk berkenalan yang berujung pernikahan dan perkawinan. Mengapa? Nyanyian Akabeluk diakhiri dengan acara Hamutu (makan bersama) yang menandai kebersamaan para pemuda dan pemudi untuk menjalin persahabatan yang lebih akrab.
Dalam persahabatan itu, kaum muda saling mengenal identitas pribadi masing-masing sebagai orang Malaka. Akabeluk juga menjadi sarana perkenalan yang dapat mempertemukan sepasang kekasih untuk saling mencintai.
Tulisan ini dibuat untuk menunjukkan jati diri orang Malaka melalui Akabilan sebagai makanan lokal, yang khas dan Akabeluk sebagai nyanyian rakyat yang menjembatani dan menegaskan identitas dan integritas orang Malaka.
Bahwasanya, orang Malaka tidak pernah menyerah pada situasi alam ketika memasuki masa paceklik. Ia senantiasa berusaha untuk memenuhi kebutuhan pangan dengan pilihan solusi yang tepat, menyediakan Akabilan.
Demikian pun, Akabeluk adalah nyanyian rakyat yang dapat dipandang sebagai seni persahabatan menuju keharmonisan hidup dan toleransi. Harmoni kehidupan orang Malaka ditentukan oleh kecintaannya pada kearifan lokal yang menghantar orang Malaka untuk menemukan identitas dan integritas diri dalam warisan tradisi budaya yang mempesona.
Identitas menunjukkan integritas dan sebaliknya integritas mengukuhkan identitas. Akabilan dan Akabeluk itu juga menunjukkan identitas dan integritas orang Malaka. (***)