Wartawan Senior: Peter Apollonius Rohi Semasa Hidup
In Memoriam Peter Apollonius Rohi
Kabar meninggalnya Wartawan senior Peter Apollonius Rohi di RS Katolik St. Vincentius a Paulo, Surabaya, Provinsi Jawa Timur, Rabu (10/6/20) pagi sekira pukul 06.45 WIB. Membawa duka mendalam bagi masyarakat Indonesia lebih khusus dunia pers Indonesia telah kehilangan seorang tokoh panutan jurnalis Indonesia.
Sejarawan, budayawan juga purnawirawan marinir (KKO) wafat pada usia 77 tahun 6 bulan, setalah berjuang melawan penyakit stroke sejak tahun 2018 lalu.
Wartawan seluruh Indonesia tentu mengenalnya dari berbagai karya-karyanya selama menjadi wartawan, salah satunya adalah Wartawan senior dari NTT Yusak Riwu Rohi. Mengenalnya sebagai wartawan yang multi talenta. Pernah merebut juara 1 katogeri wartawan media cetak dengan meraih anugerah tertinggi Adinegoro.
“Bagi saya, Om Peter bisa disebut sebagai file hidup sejarah. Ia punya data lengkap mengenai orang NTT yang berjasa dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Salah satunya orang kecil di mata banyak orang adalah almarhum Riwu Ga yang belasan tahun menjadi pengawal Bung Karno ketika dibuang di Ende” Kata Yusak Riwu Rohi kepada Pelopor9.com, Rabu (10/6/20).
Dirinya juga menyebutkan telah mengenal alamarhium sejak tahun 1977. Saat itu sebagai wartawan Pikiran Rakyat Bandung, sekaligus merangkap sebagai Koresponden Harian Sinar Harapan Jakarta. Ia menyebut penulis yang lahir pada 14 November 1942 itu sebagai seorang wartawan serba bisa.
Catatan Yusak Riwu Rohi mengenang kiprah wartawan petualang, Peter Apollonius Rohi selama hidupnya.
Di Kupang, NTT waktu itu belum banyak wartawan. Saya baru belajar sebagai wartawan saat itu pada Minggun Azas pimpinan almarhum HS Ola Hadjon.
Kiprah Om Peter menjadi seorang wartawan profesional luar biasa. Menurut catatan saya, beliau dua kali merebut juara 1 katogeri wartawan media cetak dengan meraih anugerah tertinggi Adinegoro waktu menjadi wartawan Harian Sinar Harapan ketika Orde Baru berkuasa.
Om Peter itu wartawan yang fenomenal. Bayangkan sebelum jadi wartawan, beliau adalah salah satu komandan pasukan amfibi Korps Komando Operasi AL (KKO).
Karena tertarik dengang dunia wartawan, Om Peter melepaskan jabatan tanpa urus pensiun. Kemudian Om Peter masuk pendidikan Akademi Wartawan Surabaya (AWS).
Dari situlah Om Peter mengembangkan bakatnya dangan luar biasa. Kisah perang integrasi Timor Timur menjadi liputan yg menyejarah. Tulisan dan laporannya di Harian Sinar yang panjang lebar tentang sejarah terbagi duanya Pulau Timor menjadi referensi para pejabat tinggi di Jakarta, terutama di Kupang-NTT.
Om Peter juga menulis bahwa jauh sebelum penjajah Belanda dan Portugis datang, Pulau Timor adalah satu kesatuan.
Setelah penjajah masuk, maka Timor Barat yang kemudian merdeka dalam NKRI, sementara Timor bagian timur di bawah jajahan Portugis sehingga disebut Timor Portugis. Nama itu terus mendengung saat proses integrasi.
Om Peter menulis jika Timor NTT disebut Timor Barat maka seharusnya Timor Portugis diganti namanya dengan sebutan Timor Timur. Tanpa disengaja Om Peter dengan beberapa wartawan berkunjung ke kantor Gubernur NTT, di mana disitu ada pejabat yang khusus menerjemahkan tulisan Om Peter ke dalam Bahasa Inggris dan nama Timor Portugis diubah menjadi Timor Timur sesuai tulisan Om Peter.
“Om, beta bangga dong ada kliping semua tulisan di Sinar Harapan dan diterjemahkan lalu ganti sebutan Timor Portugis menjadi Timor Timur,” kata Om Peter terkekeh kekeh.
Om Peter saya juluki wartawan petualang. Betapa tidak, mungkin banyak yang belum tahu. Peristiwa ini antara tahun tujuh puluhan memasuki delapan puluhan. Di Pulau Tidore, Maluku ada eks tentara Jepang namanya Nakamura. Sejak 1945 Nakamura masuk hutan karena takut ditangkap tentara sekutu dan dibunuh.
Nakamura hidup di hutan dengan pakian compang camping dan kadang-kadang oleh orang kampung terlihat telanjang. Malam hari curi makanan di kebun penduduk lalu menghilang lagi ke hutan.
Om Peter pun tertarik bertualang mencari jejak sang Nakamura dan ditemukan di persembunyiannya di Tidore. Ia menolak untuk dibawa ke kota. Takut dibunuh tentara sekutu. Maklum Nakamura tidak tahu menahu bahwa perang sudah berakhir serta negaranya Jepang sudah berdamai dengan Amerika.
Om Peter bersama timnya berusaha meyakinkan Nakamura, dimana akhirnya siter hilang itu berhasil dibawa ke kota, diberi pakaian bagus dan atas kerja sama Pemerintah RI dan Kedubes Jepang, bisa membawa kembali Nakamura ke negaranya.
Bagi saya, Om Peter bisa disebut sebagai file hidup sejarah. Ia punya data lengkap mengenai orang NTT yang berjasa dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Salah satunya orang kecil di mata banyak orang adalah almarhum Riwu Ga yang belasan tahun menjadi pengawal Bung Karno ketika dibuang di Ende.
Om Riwu Ga ikut Bung Karno sampai Indonesia merdeka dan kemudian pulang ke NTT. Tahun 1991, saya bersama Om Peter mencari jejak Om Riwu Ga dari Ende dan ditemukan di Kupang. Kisah tersebut kami ulas secara berseri hingga enam seri yang diterbitkan di Harian Jawa Pos, mulai tanggal 11 – 16 Agustus 1991.
Sayangnya arsip koran tersebut sudah tak ada lagi. Pasalnya anak loper koran mengangkut semua arsip yg saya miliki untuk dijual. Waktu itu saya harus tugas cukup lama di Timor Timur untuk tugas liputan dari Jawa Pos.
Hal lainnya lagi, masih soal petualangan Om Peter mencari jejak para pahlawan asal NTT. Terakhir sekitar tahun 2017, Om Peter berpetualang sampai ke kampung-kampung di Pulau Sabu untuk mencari jejak seorang pejuang bernama Ludji He.
Om Peter menemukan jejak keluarga dan makam almarhum Ludji He yang waktu perjuangan di Jawa telah dibaptis dangan nama Julian Hendrik.
Di tempat itu namanya Desa Eimau, Kecamatan Sabu Tengah. Disanalah Ludji He alias Julian Hendrik dimakamkan yang oleh Pemkab Sarai direncanakan untuk dibangun taman makam pahlawan.
Almarhum Ludji He, menurut Om Peter sudah ditetapkan sebagai pahlawan sejak tahun 1959 dimana SK Kepahlawanan itu ditandatangani oleh Bung Karno. Ya..banyak pahlawan yang turut berjuang memerdekakan NKRI namun banyak jejak mereka tak diketahui di mana pusaranya.
Hal yang tak kalah menarik adalah setelah tamat AWS, Om Peter sempat menerbitkan majalah politik yang diberi nama Sketmassa. Majalah mingguan tersebut dikenal sangat berani bahkan vokal dalam mengeritik pemerintahan Orde Baru Soeharto kala itu.
Majalah tersebut sempat terbit beberapa tahun dan akhirnya menghilang karena Om Peter dkk dikejar aparat. Sikap kritis itulah yang terus dibawa ke jenjang selanjutnya.
Selama berkarir di dunia jurnalistik, Om Peter telah banyak melahirkan wartawan. Baik di Jakarta dan Surabaya. Mereka berkiprah di berbagai media. Setelah Sinar Harapan dibredel Menteri Penerangan Harmoko, Om Peter sempat bergabung di Jawa Pos di bagian Litbang Jawa Pos.
Saat itulah, sekira tahun 1991, Om Peter datang ke Kupang mencari jejak para pahlawan asal NTT. Kemudian bersama almarhum Om Valens Doi dari Kompas mendirikan Harian Surya Surabaya. Kalau tidak salah bersama sejumlah sahabatnya mantan Sinar Harapan menerbitkan kembali koran tersebut tapi mungkin kurang sukses.
Nah disaat lowong dari job itulah, Om Peter kembali bertualang ke NTT mencari jejak para pahlawan.
Om Peter Rohi, wartawan sang petualang telah banyak berbuat untuk menemukan tempat peristirahatan mereka.
Om Peter telah meninggalkan kita semua, namun jejak langkahnya tak lekang oleh sinar matahari, dan tak lapuk diterpa hujan badai. Adakah di antara kita yang mampu mengikuti jejaknya? Kalau saya cukup ikuti semangat menulisnya saja. Selamat jalan Om Peter, selamat jalan wartawan petualang. (*/R-2)