Opini: Bung Karno dan Ende, Berkah untuk Nusantara

Emanuel Kolfidus

Bung Karno dan Ende, Berkah untuk Nusantara

 

Oleh : Emanuel Kolfidus

 

 

Bulan Juni menjadi hari istimewa bagi Presiden Pertama Indonesia Soekarno atau Bung Karno dan bangsa Indonesia. Saat tepat memperingati Bulan Bung Karno.

 

Tanggal, Tanggal 1 Juni 1945, di depan siding BPUPK-I (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan-Indonesia), Bung Karno menyampaikan pidato secara lisan, menjawab pertanyaan Ketua Sidang, dr. Rajiman Wedyodiningrat terhadap ada dasarnya Indonesia Merdeka ?

 

Bung Karno menawarkan dengan sangat rinci dan gamblang, dasar negara yang beliau sebut dengan : Pancasila : Kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan dan Ketuhanan yang berkebudayan.

 

Penemuan Bung Karno tentang Pancasila, merupakan satu proses panjang, buah dari perenungan dan pergolakan pemikiran Bung Karno, sejak tumbuh menjadi remaja di Surabaya dan mahasiswa di Bandung atas realitas imperialisme dan kolonialisme atas bangsa Indonesia.

 

Bung Karno memulai pergumulan pemikiran sosial dengan menemukan Marhaenisme.

 

Marhanenisme muncul sebagai pemikiran filsafat Bung Karno, ketika bertemu seorang petani, bapak Marhaen di Bandung.

 

Marhaen seorang petani kecil, yang memiliki alat produksi (sawah, kerbau dan cangkul), ia bekerja, berproduksi, membanting tulang, tetapi hidup miskin.

 

Paling tidak, marhaenisme mulai diperkenalkan tahun 1927, tanggal 4 Juli 1927, saat Bung Karno Bersama enam kawannya dalam grup studi Aglemeene Studie Club, mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia) dengan asas marhaenisme.

 

Selanjutnya Bung Karno menulis dalam harian Fikiran Ra’jat tentang Marhaen dan Proletar. Marhenisme adalah asas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang dalam segala hal menyelamatkan marhaen. Marhaenisme juga adalah cara perjuangan, cara yang revolusioner.

 

Orang mengkaitkan marhaenisme dengan marxisme (pemikiran filsafat Rusia). Bagi Bung Karno, marxisme berfungsi sebagai pisau analisis, sebagai denk methode, terutama tentang Historis materialisme.

 

Kita tahu, ternyata pada 1926, PKI (Partai Komunis Indonesia) melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Kolonial Belanda.

 

Pemberontakan ini berhasil ditumpas Belanda, dan aktivisnya banyak lari ke luar negeri, Sebagian ditanggap dan dibuang ke Digul (Papua). Artinya, PKI, justeru ada lebih dahulu, daripada PNI.

 

Gerakan melawan kolonialisme Belanda semakin menguat dengan hadirnya PNI. PNI melaksanakan taktik propaganda; sesungguhnya satu gerakan menyadarkan rakyat Indonesia bahwa kolonialisme itu harus dienyahkan. Oleh Gerakan PNI, Belanda mengadili Bung Karno dan kawan-kawan, tahun 1930.

 

Bayangkan, anak bangsa diadili oleh bangsa asing ? Menghadapi siding di Bandung, lagi-lagi Bung Karno menelurkan pemikiran besar dalam Nota Pembelaan yang dinamakan Indonesia Mengugat.

 

Nota pembelaan atau pleidoi ini merupakan satu kitab yang luar biasa. Bung Karno dengan sangat jitu memanfaatkan ruang sidang kolonial untuk mengajukan pemikiran-pemikiran sosial, politik, ekonomi dan hukum dengan sangat luar biasa.

 

Uraian tentang imperialism (kuno dan modern), teori nilai lebih, konstelasi politik global dan daya rusak dari penjajahan bagi rakyat negeri-negeri terjajah. Bung Karno menulis sendiri pleidoi ini dari balik jeruji penjara Sukamiskin Bandung.

 

Karena kegigihan memperjuangkan kemerdekaan, melalui pemikiran politiknya maupun melalui PNI sebagai alat perjuangan revolusioner, Bung Karno menggungcang kemapanan (status quo) pemerintahan kolonial Belanda.

 

Penghujung tahun 1933, tepatnya 28 Desember, Bung Karno diasingkan ke Ende-Flores. Bersama Ibu Inggir Ginarsih, Ratna Djuami (anak angkat) dan mertua, Ibu Amsi, Bung Karno sekeluarga menumpang KM. van Riebeeck berlayar dari Subaraya menuju Flores.

 

Tibalah Bung Karno, di Ende, Flores, Nusa Bunga, awal tahun 1934.  Bung Karno di Ende dari 1934 – 1938. Di Ende, Bung Karno banyak berdialog dengan kaum misionaris, terutama dengan Pastor Gerardus Huijtink.

 

Bung Karno juga membentuk grup tonil dan menulis naskah-naskah drama. Bung Karno juga merenung tentang Indonesia, di bawah pohon Sukun, bercabang lima.

 

Tahun 1938, Bung Karno sekeluarga dipindahkan ke Bengkulu, pulau Sumatera. Tujuh tahun kemudian (1945) Bung Karno berpidato tentang dasar negara : Pancasila.

 

Saya meyakini, Bung Karno adalah proklamator, penggali Pancasila dan filsuf. Ende-Flores, Nusa Bunga menjadi salah satu rumah pesemaian pemikiran Bung Karno dengan menyempurnakan Marhaenisme menjadi Pancasila. Ende dengan keberagaman dan toleransi yang sangat manis, melengkapi gagasan besar Bung Karno tentang Indonesia.

 

Marhaenisme sesungguhnya Pancasila dengan belum ada Sila Ketuhanan. Kita tahu, bahwa marhaenisme tidak lain sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.

 

Marhaenisme mengandung empat sila : kebangsaan, perikemanusiaan, mufakat dan kesejahteraan sosial.

 

Bung Karno menjelaskan, bahkan menyatakan di dalam Pidato tanggal 1 Juni 1945, jikalau lima sila atau lima bilangan ini ada keberatan, maka akan diperas menjadi Trisila, yaitu : sosio - nasionalis, sosio-demokrasi dan Ketuhanan.

 

Kalau Trisila pun keberatan, maka Bung Karno mengajukan Eka Sila : gotong royong. Kita tahu, bahwa marhaenisme tidak lain sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.

 

Pancasila merupakan peningkatan kea rah yang lebih baik/penyempurnaan (hogere optrecking) dari Declaration of Independence - AS dan Manifesto Komunis- Rusia.

 

Maka, marilah bangga memiliki Bung Karno, bangga menjadi Indonesia, Bangga menjadi Pancasila.

Kupang, GubukMarhaen­_13Juni2020(*)