Kio untuk Selamatkan Flora dan Fauna

Hutan di TTS, Foto: Istimewa

Kio untuk Selamatkan Flora dan Fauna

Penulis: Leksi Y. Salukh

Mantan Wartawan Victory News

UPAYA menyelamatkan dan mempertahankan flora dan fauna agar tidak punah, di wilayah Amanuban, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS)  setiap suku atau marga memiliki hutan larangan. Di Amanatun hutan larangan ini dinamakan  kio atau lamu dan di Mollo disebut nais halat. Di lokasi  kio orang dilarang keras berburu hewan liar dan menebang pohon. Larangan tersebut  disepakati bersama oleh tokoh masyarakat dan warga masyarakat sekitar kawasan hutan larangan.


Melkianus Aoetpah, tokoh masyarakat Desa Hoi, Kecamatan Oenino, mengatakan, di dalam kio terdapat berbagai jenis hewan liar maupun tumbuhan-tumbuhan. Manusia  dilarang berburu hewan liar di dalam hutan yang ditetapkan sebagai kio itu. Larangan itu bertujuan menjaga kelestarian flora dan fauna yang ada di dalam hutan larangan.

Selain itu, pohon dalam kio tidak boleh ditebang pada  sembarang waktu. Pada zaman dahulu kala, berburu hewan liar di kio hanya dilakukan saat ada tamu. Sebab, daging hasil buruan dimasak untuk menjamu tamu. Sedangkan pohon dalam kio hanya boleh ditebang jika kayunya dibutuhkan untuk membangun fasilitas umum seperti kantor desa, gereja atau rumah adat.

Sebelum berburu hewan liar dan menebang pohon di dalam kio terlebih dahulu dilakukan ritual adat. “Ritual adat dilakukan untuk meminta izin kepada leluhur. Apabila tidak meminta izin maka ada kemungkinaan ada tantangan atau halangan saat berburu atau menebang pohon, bahkan bisa menelan korban,” kata Aoetpah.

Dengan ritual adat, maka kegiatan berburu dimudahkan, dimana hewan buruan dengan mudah ditangkap. Kalau tidak melakukan ritual adat, peluang mendapat hewan buruan sangat sulit didapat.  “Jangan harap dapat sesuatu kalau sebelum berburu tidak lakukan upacara adat. Demikian juga kalau mau tebang pohon, harus upacara adat,”  tutur Aoetpah.
Aoetpah  menjelaskan, terkadang juga ada korban jiwa, seperti tergilas pohon saat pohon tumbang, atau digigit hewan liar. Kio juga biasanya tidak dilarang sepenuhnya,tapi masyarakat dan tokoh adat bersepakat untuk waktu-waktu tertentu dalam setahun bisa berburu dan menebang pohon baik setahun sekali atau setahun dua kali. Tapi kini di wilayah Amanuban, kio sudah hampir tidak ada lagi seiring dengan bertambahnya penduduk dan saling klaim lahan.

“Sekarang sudah jarang kita temukan kio karena semakin banyak masyarakat dan pembakaran lahan dilakukan oleh oknum tak bertanggung jawab. Tak hanya itu, faktor lainnya adalah tingkat penghargaan kepada struktur masyarakat adat di tiap suku sudah mulai diabaikan. Pemetaan kawasan hutan oleh pemerintah juga menyebabkan eksistensi kio mulai tergusur,” kata Aoetpah.

Tanpa Aturan Tertulis


Welhelmus Boimau, tokoh masyarakat Kolbano sekaligus mantan Kepala Desa Kolbano yang ditemui terpisah  menuturkan bahwa kio adalah tempat hidup dan berkembang biaknya hewan liar dan tumbuhan yang dilindungi. Kendati tanpa aturan tertulis, kio tetap dipertahankan dengan kesepakatan bersama, dipatuhi masyarakat.
Kesepakatan yang dibuat oleh tokoh masyarakat dan masyarakat yakni jika ada orang masuk berburu atau menebang pohon dan kedapatan, maka akan dikenakan kiuman muek atau denda  berupa hewan dan beras untuk memberi makan warga sekitar yang telah bersepakat untuk tidak masuk dalam kawasan kio.
“Sanksi akan diberikan kepada siapapun dia yang kedapatan masuk dan berburu atau menebang pohon dengan membawa binatang, beras dan bisa juga uang tergantung dari kesepakatan bersama,” kata Boimau.
Bentuk denda berbeda-beda antara satu kampung dengan kampung lain. Biasanya di kampung yang satu disepakati denda dengan membawa binatang dan beras, sedangkan di kampung yang lain binatang, beras dan sejumlah uang. Denda diwajibkan kepada oknum tersebut dengan harapan bisa mendatangkan efek jera.
Perkembangan di bidang pendidikan dan ketika aturan agraria dikeluarkan dan dilakukan pengukuran dan pemisahan lahan, masing-masing orang mengklaim lahan sehingga masyarakat mulai meninggalkan  tradisi kio yang telah dipertahankan secara turun temurun. Meskipun dari sisi lingkungan kio memiliki fungsi ganda, yakni melindungi satwa, menjadi penyangga air dan kelestarian lingkungan, namun regulasi baru menyebabkan tradisi yang sangat ramah lingkungan ini mulai ditinggalkan oleh masyarakat.

Kio mulai diabaikan oleh masyarakat, juga karena hilangnya struktur adat di tiap suku atau marga di tiap kampung yang berperan penting mengetahui fungsi kio dan mengatur ritual tahunan untuk melindungi kio dari ancaman pemburu dan pembalak liar. Menurut  Boimau,  di hampir semua wilayah Amanuban, kio sudah tidak ada lagi.

Hutan Adat
Tokoh masyarakat Desa Taneotob di Kecamatan Nunbena, Okto Tanesib, mengatakan, di wilayah Mollo kio disebut nais halat atau hutan adat, yang masih dipertahankan sampai saat ini, karena diyakini kio  sebagai pelindung margasatwa. 
Tanesib menyebut contoh hutan adat Faobinesi yang terletak di desa itu. 

Nais halat bagi suku Mollo memiliki fungsi tersendiri seperti menjaga hutan sebagai tempat madu bersarang (oni oef), sehingga leba perlu dijaga sebagai penghasil madu yang menjadi salah satu sumber penghasilkan dan gizi bagi masyarakat.
Sama seperti di Amanuban dan Amanatun yang mana hewan atau tumbuhan di dalam nais halat itu tidak sembarangan ditangkap, sebelum diadakan upacara atau ritual adat. Nais halat di Mollo malah lebih ketat lagi. Untuk sekadar lewat saja bahkan dilarang. Dilarang keras memasuki hutan. Biasanya nais halat di Mollo diizinkan masuk pada bulan Juni atau Juli saat panen madu hutan. Setelah itu mulai dilarang melalui ritual adat yang disebut menaikkan banu.
Tokoh adat Desa Fatumnasi di Kecamatan Fatumnasi, Danial Fobia, menjelaskan, fungsi hutan adat adalah untuk menjaga semua margasatwa di dalamnya. Hutan adat tersebut harus terus dilindungi karena hutan tersebut memiliki banyak hewan liar yang juga tidak bisa diburu sembarangan. Hutan adat sekaligus melindungi hewan liar dari kepunahan, selain mempertahankan sumber air dan kelestarian hutan itu sendiri. ***