Makanan Tradisional

Mak Tutu, salah satu makanan tradisional

Makanan Tradisional

 

Penulis: Leksi Y. Salukh

Mantan Wartawan Victory News


Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), merupakan salah satu Kabupaten dari lima Kabupaten yang ada di Pulau Timor, di luar dari Kota Kupang. Kabupaten TTS juga merupakan salah Kabupaten yang sangat luas wilayahnya, dengan jumlah penduduk sangat besar di seluruh propinsi NTT. Selain memiliki luas wilayah sangat luas dan jumlah penduduk banyak, di perut bumi TTS menyimpan jenis makanan tradisional yang sejak dulu dan menjadi makanan favorit yang ditemui ditiap kehidupan masyarakat dawan di tiga suap raja yakni Amanatun, Amanuban dan Mollo.

 

Sejumlah makanan tradisional yang ada, sebagian masih dipertahankan. Sedangkan, sebagian yang lain perlahan-lahan mulai dilupakan bahkan sudah ditinggalkan, dengan  hadirnya sejumlah kuliner moderen dari luar. Contohnya Mak Tutu, Umnaula, Ut Tunu, Kot Pesi, Lauk Tunu, Bok Fona, Uik Tunu, Bok Tunu, Mak Sain, Mak Penmina, Sis Atuf, Puta Laka dan masih banyak lagi,

 

Bergesernya sejumlah makanan tradisional   di Suku dawan yang tersebar di wilayah Amanatun, Amanuban dan Mollo tak dapat dibendung lagi pada saat ini, karena semakin terlenanya masyarakat menikmati  produk instan yang mudah diperoleh dimana-mana.

 

 Makanan tradisional yang di lupakan
 

a.      Mak Tutu

Mak Tutu adalah makanan dari hasil olahan jagung menjadi serupa dengan beras, kemudian bisa di masak menjadi bubur atau menjadi nasi jagung. Mak Tutu di konsumsi oleh semua orang atau kalangan umur ,terutama balita, dan orang tua yang sudah tidak memiliki gigi.   Tekstur Mak Tutu  tidak sekeras Pena Tema dan Pen  Bose (Li Ana dan Mnasi ), Mak Tutu bagi orang dawan makanan lunak sebelum mengenal beras. Proses untuk menjadi Mak Tutu yakni jagung yang telah dipipil kemudian diolah dengan cara "di-titi" menggunakan  "batu titi" ( Fatu Enaf dan Fatu Ana).

 

Kemudian ditapis atau diayak mengunakan nyiru (Tupa) untuk memisahkan yang kasar (Leot) dan yang  halus (Ut). Setelah ditapis kemudian  tepung (Ut) terpisah dengan butiran yang kasar (Leot). Selanjutnya mulai di proses masak dengan menggunakan Periuk Tanah (Nai Klofo) yang sudah terisi dengan air. Proses masak perlu diperhatikan agar  diaduk berulang kali, karena jika tidak maka  akan melekat pada dasar periuk, seperti nasi dari beras.

 

Waktu masak Mak Tutu sekitar  10-15 menit. Setelah 10-15 menit dimasak Mak Tutu siap disajikan untuk dinikmati.  Perlu juga diperhatikan pada saat masak  Mak Tutu yakni  mudah menguap, sehingga lengket dalam bagian dasar periuk  yang akan menghasilkan lempengan hangus yang tidak bisa di makan oleh manusia. Tapi bisa dimakan  hewan ternak piaraan di rumah seperti anjing dan babi.

 

Biasanya Mak Tutu  per satu kilo  dapat di konsumsi oleh empat sampai sembilan orang. Dengan lauk yang ada, atau sambal luat. Tingkat konsumsi Mak Tutu yang teratur,  dapat berpengaruh pada berat badan dan padat fisik.

 

Dengan berkembangnya zaman, proses Mak Tutu  tidak lagi mengunakan Fatu Tutu (Faut Enaf dan Faut Ana), tetapi mengunakan Mol yang lebih praktis dan cepat sehingga perlahan nama Mak Tutu berubah menjadi Mak Fole ( Makanan Mol).

 

Penyebab Mak Tutu perlahan dilupakan orang, pada beberapa tahun terakhir, yakni pemberian bantuan beras rakyat miskin (Raskin). Dengan  adanya bantuan raskin, yag diperoleh setiap bulan dan dapat dikonsumsi anak-anak sampai orang tua, sehingga masyarakat dawan tidak perlu lagi menyiapkan Mak Tutu.  

 

b.      Ut Tunu

 Ut tunu merupakan makan khas Suku Dawan yang tak lain diolah dari jagung. Baik jagung putih maupun jagung kuning. Proses mengolahnya tak berbeda dengan Mak Tutu,  Perbedannya pada  kelembutan tepung dari hasil ayakan  Mak Tutu yang dipakai untuk  Ut Tunu, Sedangkan Mak Tutu mengunakan hasil ayakan sebesar beras.

 

 

Untuk membuat Ut Tunu, tepung hasil ayakan yang halus bisa di campur dengan parutan kelapa atau  dengan gula air dari lontar kemudian di aduk menjadi adonan hingga merata. Kemudian adonan yang telah dicampur dibungkus dengan daun pisang sesuai ukuran yang diinginkan. Setelah proses pembungkusan berakhir dipanggang pada bara api sampai matang, maka Ut Tunu siap untuk disajikan.

 

 Ut Tunu merupakan makanan tradisional yang hampir sama dengan  kue atau roti bakar, tetapi berbeda prosesnya  dan bahan. Bagi orang yang pernah merasakan lezatnya Ut Tunu akan selalu terkenang rasanya yang khas, dan aroma yang menggiurkan,

 

Kelebihan Ut Tunu tidak mudah basi, sehingga bertahan sampai tiga hari, Apabila di simpan di tempat dan wadah yang memiliki suhu rata-rata, maka Ut Tunu tidak ada batasan umur untuk konsumsi.

 

c.       Um Naula

Um Naula tak beda jauh dengan Mak Tutu dan Ut Tunu yang bahannya, sama-sama dari jagung putih maupun kuning. Prosesnya pun tak beda jauh juga dengan Mak Tutu dan Ut Tunu. Um Naula dalam sebutannya bagi orang dawan di Kabupaten TTS berbeda-beda: di Amanatun, disebut U Aaula, di Amanuban disebut   U Pen Bati / U Beti, dan di Mollo Mollo disebut U Aula atau U Skuku .  Kalau kita menyebut Um Naula, maka ketiga suku tersebut semua tau, meskipun berbeda versi ucapan ungkapan sesuai proses dan wujud.

Selain Mak Tutu dan Ut Tunu, Um Naula juga merupakan salah satu makanan tradisional masyarakat yang dulu menjadi makanan selingan atau camilan (snack) atau sebagai makan bekal untuk berpergian jarak jauh.

 

Cara pembuatan Um Naula  dimulai dengan  menggoreng jagung. Kemudian di tumbuk menggunakan lesung (Esu) dan aluk ( Hanu) . Selanjutnya ditampis dengan nyiru /diayak (Tupa) dengan tujuan memisahkan  tepung yang  halus dan yang kasar.  Setelah ditapis dan pisahkan, yang kasar langsung disajikan atau lebih dahulu di beri gula air (Oin Oef) sadapan dari pohon lontar , sebelum gula pasir dikenal.

 

Um Naula  biasanya bertahan sampai dua minggu dan tetap awet. Dahulu kala  Um Naula bisa juga untuk sarapan pagi. Atau bekal untuk pekerjaan pembukaan lahan baru yang jauh dari pemukiman penduduk. Oleh karena itu pengelolaan jagung dalam bentuk ini bertahan lama dalam penyimpanan, sehingga sangat baik untuk pembekalan yang siap saji.    Bagi yang sudah pernah menikmati Um Naula, terpikat oleh  aroma dan rasanya yang khas.

 

Keunikan dan kekhasan aroma  Um Naula, kerap kali menjadi penarik semut, sehingga penyimpanannya pun harus di tempat yang aman dan bisa terhindar dari kerumunan semut. Sebab apabila dikerumuni semut maka tidak bisa dikonsumsi lagi, karena akan tercampur semut dan semut sulit tinggalkan.

 

Keunikan lain selain menghimpun semut, Um Naula ketika di konsumsi, akan menyebabkan penikmat haus air terus menerus, dan baik mengkonsumsi matang atau mentah yang penting bersih. Hal ini telah menjadi kebiasaan sejak dulu kala di zaman nenek moyang orang dawan. Meskipun sudah di tengah kemajuan zaman, namun pengelolaan Um Naula tetap mengunakan alat tradisional yakni Esu dan Hanu dan belum bisa   menggunakan mol canggih.

 

Um Naula  dapat dikonsumsi segala usia, karena sifatnya yang lunak.  Selain itu merupakan makanan tradisional yang sejak dulu dikonsumsi oleh nenek moyang orang dawan juga memiliki kekhasan tersendiri yakni mampu menahan rasa lapar seperti Pen Pasu. (Sumber : Penutur Adat, Kornelis Mana’0, Desa Nusa,Kecamatan Amanuban Barat).

 

d.      Puta Laka

Puta Laka merupakan salah satu makanaan tradisional yang terbuat dari batang gewang, Makanan ini, serupa dengan makanan sagu di Papua maupun Maluku, namun ada perbedaannya pada proses.

 

Makanan Puta Laka, sampai kini tidak semua orang dawan masih mengkonsumi, tapi yang mengkonsumsi hanya  sebagian kecil yakni di wilayah Amanatun dan di luar dari Suku Dawan yakni di Kabupaten Belu dan Kabupaten Malaka.

 

Untuk menjadi Puta Laka, melalui  proses panjang yakni pohon gewang ditebang, kemudian  di potong dalam ukuran sesuai dengan kebutuhan, rata-rata biasanya berkisar 80-100 Cm.

Proses selanjutnya batang gewang tersebut di belah menjadi beberapa bagian untuk mengambil isinya, lalu di cincang kecil-kecil, kira-kira satu sampai dua centimeter. Kemudian di jemur ditempat terbuka sampai kering atau biasa pada musim hujan diasapi di loteng. Selanjutnya isi gewang yang sudah dikeringkan dihaluskan dengan cara ditumbuk dalam lesung (Esu) dengan aluk sampai halus , Kemudian di ayak   agar isi dan serat atau tulang gewang dipisahkan. Ayakan yang dilakukan dapat memisahkan tepung (Put Nafu) dengan sarat atau batang.

 

Biasanya seusai proses sampai halus, isi dan batangnya terpisah. Hasil ayakan bisa di rendam dengan air secukupnya, lalu di endapkan atau melalui proses pencucian hingga sari gewang membeku di dasar wadah seperti bakul atau ember. Kemudian air endapan dibuang.

 

Sedangkan sari yang ada diambil dan dibentuk sesuai ukuran yang di inginkan, lalu disimpan beberapa waktu agar lembab, Langkah selanjutnya, sari dihancurkan kembali dengan cara dikucak dan diayak hingga halus, lalu dicampur dengan parutan kelapa atau kacang hijau rebus. Kemudian diisi kedalam belangga untuk dipanggang hingga matang tanpa minyak.

 

Begitu sudah selesai pemanggangan Puta Laka siap disajikan sebagai makanan selingan. Tapi  pada musim kelaparan tahunan, Puta Laka menjadi alternatif bagi masyarakat untuk bertahan hidup, yakni pada bulan Desember sampai Februari sebelum panen.

 

Ada kekhasaan tersendiri di Suku Amanatun dalam pengengolaan Puta Laka ketimbang suku Mollo dan Amanuban. Kini Puta Laka  masih tetap dikonsumsi oleh masyrakat Suku Dawan di wilayah Amanatun dan Belu dan Malaka, sepanjang musim. Sedangkan di wilayah Amanuban dan Mollo, dikonsumsi pada saat terjadi kelaparan tahunan.

 

Prosesnya sampai hari ini, masih tetap tradisional. Belum ada alat modern untuk pengelola Putak Laka,seperti Mak Tunu dan Ut Tunu  yang ada mol sehingga pengelolaan modern.( Sumber Agustinus Neonleni, Sofia Saetban, Nelci Hauteas,Petrus Andreas Penuam, Warga Desa Kualin, Kecamatan Kualin, dan Daniel Banunaek Mantan Bupati TTS). (***)