Tiga Organisasi Wartawan Kecam, Oknum Polisi Polda NTT yang Larang Liput Rekonstruksi Minta Maaf

Para Wartawan Berorasi dan Membaca Puisi di Depan Mapolda NTT

Kupang, Pelopor9.com – Sebanyak tiga organisasi Wartawan di Nusa Tenggara Timur mengecam tindakan oknum polisi dari Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur (Polda NTT), yang melarang peliputan rekonstruksi kasus pembunuhan terhadap Astrid Manafe dan Lael, 21 Desember 2021.

 

Dimana terjadi pelarangan pengambilan gambar dan ancaman perampasan hand phone milik wartawan Pos Kupang.

 

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi  Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam rilis yang diterima redaksi ditandatangani Ketua, Hilarius F Jahang  dan sekretaris, Zacky W Fagih mengemukan 5 pernyataan sikap.

 

Kesatu: Menyesalkan segala bentuk dan upaya tindakan oknum polisi yang melarang dan mengancam wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistik.

 

Kedua: Mengingatkan kepada semua pihak yang terkait, bahwa wartawan dalam menjalankan tugasnya dilindungi oleh hukum dalam hal ini Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

 

Ketiga: Menghalang-halangi wartawan yang sedang bertugas, selain merupakan tindak pidana yang dilarang oleh UU Pers, hal itu juga merupakan pelanggaran berat terhadap asas-asas demokrasi dalam suatu negara.

 

Keempat: Mengharapkan hal tersebut tidak terjadi lagi pada masa yang akan datang.

 

Kelima: Apresiasi kepada pihak Polda NTT yang secara terbuka telah menyampaikan permintaan maaf atas kejadian tersebut, oleh Kabid Humas Polda NTT melalui Podcast Tribunnews/Pos Kupang.

 

Sementara, Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Kota Kupang mengemukakan empat pernyataan sikap, ditandatangani Ketua Marthen Bana, dan Divisi Advokasi Jhon Seo, dalam rilis 22 Desember 2021.

 

Kesatu: Menyesalkan tindakan oknum anggota kepolisian daerah (Polda) NTT yang melarang dan mengancam wartawan saat melakukan kerja-kerja jurnalistik.

 

Kedua: Meminta Kapolda NTT untuk memberikan sanksi bagi oknum polisi yang menghalangi kerja-kerja jurnalistik.

 

Kedua: Mendesak oknum anggota polisi itu meminta maaf secara terbuka ke publik.

 

Ketiga: Jika tuntutan ini tidak diindahkan dalam waktu 2x24 jam, maka AJI Kota Kupang akan membawa masalah ini ke Mabes Polri.

 

AJI menilai larangan dan ancaman oknum polisi ini dinilai sebagai upaya-upaya menghalang-halangi kerja pers, seperti yang diamanatkan pasal 4 UU Pers No 40 tahun 1999, yang menyebutkan;

1. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.

2. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.

3. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

 

Penjabaran ini dipertegas lagi pada Pasal 18 yang menyebutkan;

1. Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan sesuai ketentuan pasal 4 ayat 2 dan 3, dipidana dengan pidana penjara paling lambat 2 tahun atau denda paling banyak 500 juta        

Beredar video viral larangan serta ancaman terhadap wartawan Pos Kupang, oleh seorang oknum anggota Kepolisian daerah (Polda) NTT, saat menjalankan tugas jurnalistik, rekonstruksi kasus pembunuhan terhadap Astrid (30) dan Lael (1) di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) di salah satu tempat jualan kelapa di Kelurahan Penkase, Kota Kupang.

 

Disitu oknum polisi menanyakan alasan wartawan itu merekam, "Ini siapa. Darimana" lalu dijawab Irfan, "Dari Pos Kupang". Polisi itu pun melarang untuk tidak merekam. "Jangan merekam".

 

Setelah itu dia meminta kepada anggota untuk mengecek, apakah wartawan itu merekam, jika merekam, maka sita handphonenya. "Anggota dicek, kalau rekam hanphone ambil".

 

Senada, Dewan Pimpinan Wilayah Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Provinsi Nusa Tenggara Timur, dalam rilis 21 Desember 2021, ditandatangani Wakil Ketua Bidang Organisai DPW SMSI Provinsi Nusa Tenggara Timur, Yos K Dia, mengemukakan enam pernyataan sikap.

 

Kesatu: Tindakan intimidatif yang dilakukan anggota Kepolisian Polda NTT terhadap wartawan Pos Kupang yang sedang menjalankan tugas jurnalistik merupakan bentuk arogansi yang dilakukan aparat penegak hukum terhadap pers.

 

Kedua: Aparat Kepolisian di Polda NTT perlu memahami bahwa wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistik dilindungi UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

 

Ketiga: Tindakan yang melarang wartawan untuk mengambil gambar dan memperintahkan anggota lain mengambil hand phone milik wartawan yang sedang menjalankan tugas jurnalistik merupakan tindakan pidana dan pelanggaran berat, karena pers mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

 

Keempat: SMSI Provinsi NTT meminta Kapolda NTT untuk memberikan tindakan disiplin terhadap anggota yang melakukan intimidasi tersebut.

 

Kelima: SMSI Provinsi NTT meminta jajaran Kepolisian di NTT untuk menghargai wartawan yang sedang menjalankan tugas jurnalistik sesuai UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

 

Keenam: SMSI Provinsi NTT mengapresiasi terhadap Humas Polda NTT yang memberikan permintaan maaf, namun perlu memberikan pembinaan terhadap anggota yang bersangkutan sehingga kasus-kasus seperti ini tidak lagi menimpa wartawan di NTT.

 

Sementara, Puluhan wartawan dari berbagai media yang tergabung dalam Forum Wartawan Nusa Tenggara Timur menggelar aksi damai di Mapolda NTT, Rabu (22/12/21).

 

Forum meminta oknum Polisi untuk menemui masa dan meminta maaf secara terbuka. Yang mana oknum dimaksud diketahui, Kanit II Subdit III Jatanras Polda NTT, AKP Laurensius.

 

“Pada intinya, saya atas nama pribadi meminta maaf atas peristiwa kemarin. Tidak ada maksud sama sekali untuk mendiskreditkan atau menghalang – halangi tugas dan kerja teman – teman Jurnalis,”kata AKP Laurensius, saat menemui masa aksi.

 

Dikatakan, saat kejadian banyak warga termasuk wartawan di luar garis Police line mengambil gambar. Ketika menegur, tidak terdengar jawaban dari warga yang mengambil gambar, bahwa wartawan. (R-1)