Kestabilan Harga Kompetitif Impian Sejahtera Petani Rumput Laut Desa Jiwuwu

Oktavina Mone (kiri), dan Jekfritson Bani Huru (Kanan) dengan Latar Kegiatan Pemantauan Rumput Laut

Menia, Pelopor9.com -  Penghidupan utama masyarakat Desa Jiwuwu mayoritas dari bertani Rumput Laut atau Agar. Sedang dari kegiatan lain seperti bertani ladang dan menyadap Nira Lontar tidak mencukupi kebutuhan sepanjang tahun.

 

Rumput Laut telah menjadi pekerjaan utama sejak tahun 2000-an, sebelumnya penghidupan masyarakat dari menyadap Nira Lontar/ Tuak, bertani ladang seperti menanam kacang hijau, sorgum dan jagung.

 

“Setelah Agar ini sudah ada, makanya orang lepas ini Tuak, tinggal satu – satu orang saja. Jadi orang lebih terjun ke Agar sekarang. Kalau di sini, hampir semua terjun ke rumput laut”, kata Jekfritson Bani Huru (59), tokoh masyarakat RT 003 RW 002, Desa Jiwuwu, Kecamatan Sabu Tengah, Kabupaten Sabu Raijua, Sabtu (07/09/2024) di kediamannya didampingi istri Oktavina Mone (43)

 

Hasil dari rumput laut cukup memenuhi kebutuhan keluarga, hingga bisa menyekolahkan anak ke jenjang pendidikan tinggi. Meski demikian, harga rumput laut fluktuatif dimana harga Bulan September sebesar Rp.11.000 per kilogram kering untuk jenis Eucheuma Cottoni.

 

Dikatakan harga yang murah menjadi momok bagi petani. Apabila di tengah harga kebutuhan pokok di pasaran yang terus mengalami kenaikan. Sehingga diperlukan kebijakan dari pemerintah yang melindungi petani dan tidak menguntungkan satu pihak.

 

“Kalau kami, yang paling utama itu, bisa bantu tentukan harga buat kami. Kasih seimbang kami punya hasil, dengan harga di Toko. Itu yang kami harap sebenarnya dengan pemerintah”,kata anggota Organisasi Basis Masyarakat (OMB) Wuke Rohedui Desa Jiwuwu binaan Yayasan Sheep Indonesia (YSI) ini.

 

Petani akan sejahtera apabila tidak ada monopoli dari pengepul dan tidak ada pembiaran dari pemerintah. Harga dibiarkan kompetitif dan petani bebas menjual kepada pengepul.

 

“Misalnya ada yang datang dengan harga yang lebih dari itu, dikasihlah kelonggaran begitu. Jangan menutup harga dari luar, kami sayang sekali kalau tutup harga dari luar”,lanjutnya.

 

Baik pengepul dari luar Sabu Raijua dan pengepul lokal sama – sama membawa uang. Dimana akan berputar di masyarakat sehingga terjadi peningkatan ekonomi dan daya beli masyarakat.

 

“Kalau pembeli luar tidak ada, nanti dong (Pengepul Lokal, red) tidak datang beli. Istilahnya orang yang cari dong, supaya nanti turun harga”,lanjut Oktavina.

 

Petani menjual rumput laut dengan harga yang ditentukan pengepul. Petani menjual tanpa ada pemilahan jenis dan tanpa mengetahui tingkat kekeringan yang dibutuhkan pasar.

 

Mayoritas petani menjual hasil apabila membutuh uang tunai untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sebagian kecil petani berutang kepada pengepul dengan meminjamkan uang tunai maupun berutang bahan makanan seperti beras, dan jagung.  

 

Sementara petani yang memiliki modal akan menunggu harga mahal. Namun diperhadapkan dengan persoalan penyusutan berat. Rumput laut tidak dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Akan mengalami penyusutan bisa mencapai 4 kilogram dari 50 kilogram kering.

 

“Kalau bicara harga ini, pembeli yang tentukan. Saya juga bingung, hanya di Agar saja yang penjual tidak tentukan harga. Kalau butuh. jual, harga berapa saja. Lain hal dengan orang yang punya modal”,pungkasnya.

 

Rumput laut telah menjadi pekerjaan yang tidak membutuhkan perawatan rumit, dan dapat dilakukan oleh semua kalangan terutama kelompok perempuan dan kepala keluarga perempuan. Ketika panen membutuhkan peran besar lelaki.

 

“Dengan rumput laut ini, kami perempuan  bisa kerja, bantu laki – laki. Perempuan lebih banyak ke Agar, memang bapak bekerja. Tetapi bapak – bapak kerja lain seperti Tuak. Jadi agar ini sangat membantu. Agar ini bisa bayar uang sekolah anak. Kami bisa bantu, kami punya anak yang ada sekolah”,terangnya.

 

Meski tidak membutuhkan perawatan intensif, pengeluaran terbesar adalah bahan bakar minyak (bensin) untuk transportasi kendaraan bermotor dari rumah menuju pantai. Sedang pengontrolan, dan perawatan tidak dihitung dikarenakan memakai tenaga sendiri.

 

Dia berharap pemerintah juga dapat membantu petani dengan peralatan seperti peralatan penunjang panen seperti Styrofoam/ gabus, tali pengikat dan bibit berkualitas. 

 

Pasalnya, bibit yang sekarang sanggat rentan penyakit ice ice, sehingga berakibat pada kualitas rumput laut baik umur dan kuantitas panen.

 

Gabus sangat dibutuhkan pada musim rumput laut rusak karena harus panen dalam jumlah banyak. Panen pun harus menyesuaikan atau sangat tergantung dengan pasang surut air laut. Saat ini harga gabus ukuran 200x80 cm mencapai Rp.1.000.000.

 

“Bantuan tali, alat angkut (gabus). Kan butuh kejar air, dengan adanya gabus itu kita bisa panen lebih banyak. Lebih – lebih di saat rusak. Lebih dari tali, dia (red, gabus).

 

Petani rumput laut Desa Jiwuwu dapat memenuhi kebutuhan tahunan dengan memelihara 60 tali dengan panjang 45 meter per tali. Pada puncak pertumbuhan 3 tali bisa sampai 1 karung dengan berat 60-70 kg.

 

Pemerintah diminta untuk menguatkan kelompok tani dengan fokus pengembangan kebun bibit sehingga mengurangi ketergantungan dan menekan biaya modal bibit yang besar. (R-1/*Adv-kerjasama YSI dan Pelopor 9)