Produk Turunan, Pangan Pencegahan Stunting Diharapkan Tingkatkan Produksi Sorgum Desa Keliha

Hernimus Udju Riwu dengan Latar Kemasan Produk Sereal Pangan Lokal ( Sorgum )

Menia, Pelopor9.com – Beragam pangan alternatif membuat petani Desa Keliha, Kecamatan Sabu Tengah tidak menanam sorgum secara masif. Kehadiran beras turut mempengaruhi pola konsumsi petani.

 

Padahal sorgum merupakan pangan lokal bagi masyarakat Sabu dan Raijua secara turun temurun. Tanaman sorgum sangat adaptif dengan segala situasi wilayah Sabu Raijua, seperti curah hujan minim, unsur hara tanah yang terbatas dan minim perawatan.

 

Salah satu yang menyebabkan penurunan produktifitas petani adalah adanya pilihan pekerjaan yang lebih menguntungkan, masalah ternak yang dilepas liar, serta pengolahan pasca panen yang rumit.  

 

Sebagian keluarga yang memiliki angkatan kerja memilih merantau untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Hasil dikirim uang tunai untuk membeli beras.

 

Oleh karena itu, Organisasi Masyarakat Basis (OMB), Titu Hari Desa Keliha sebagai kelompok binaan Yayasan Sheep Indonesia melakukan berbagai terobosan untuk meningkatkan produktifitas dan konsumsi sorgum.

 

“Sekarang kan ada beras dari Sulawesi juga, saya lihat anaknya kirim uang lalu beli beras. Sudah mudah juga. Saya tidak tanam padi tetapi ada uang. Kan begitu. Kalau dulu, kalau tidak beraktifitas tanam padi, pertanian itu kita semua pada stres”, kata Hernimus Udju Riwu (41), warga RT 2/ RW 1 dusun 1 Desa Keliha, yang juga pengurus OMB Titu Hari, (13/09/24).

 

Upaya untuk meningkatkan konsumsi sorgum adalah pengolahan sorgum untuk dijadikan makanan yang siap saji, seperti sereal.

 

“Saat ini dalam proses izin halal, ada orang yang berminat bisa kontak dengan pengurus. Menjadi kendala itu, bahan saja. Kalau dilihat dari peminat itu banyak”, ujarnya.

 

Kendala lain adalah pengolahan pasca panen yang rumit, dimana tidak seperti padi yang tersedia mesin penggilingan. Namun sudah tersedia teknologi penggilingan sorgum. Pengolahan sorgum pun menjadi makanan siap saji membutuhkan lebih banyak dibanding beras.

 

Pemerintah diharapkan memiliki tekad untuk mendukung petani dengan penerapan kebijakan penyediaan pangan lokal pada setiap kegiatan pemerintah. Menjadikan sorgum sebagai salah satu pangan pencegahan stunting.

 

Kelompok Titu Hari telah membuat sereal sebagai pangan pencegahan stunting bagi anak – anak stunting. Hasilnya sangat diminati masyarakat dan menjadi potensi ekonomi petani ke depan. Namun terkendala bahan baku karena gagal panen 2024.

 

“Memang keuntungannya ada, pasti orang akan minat. Kita bisa ekspor ke luar daerah.

Keinginan kami, setiap kegiatan pemerintah harus ada pangan lokal, sorgum. Hanya saja sekarang susah”, ujarnya.

 

Dengan adanya produk turunan sorgum berupa sereal diharapkan meningkatkan konsumsi, sekaligus membiasakan anak – sejak dini mengkonsumsi sorgum.

 

“Anak – anak tidak suka sorgum, harus dobel masak. Untuk anak – anak beda dan orang tua beda. Keluhan orang tua itu”, terangnya.

 

Dia meminta pemerintah dan masyarakat adat penganut kepercayaan Jingitiu, pemegang ritual persiapan tanam untuk merumuskan kebijakan bagi petani. Agar semua masyarakat merumuskan ulang gerakan penanaman sorgum secara serentak.

 

“Ketika sorgum berbulir, bersamaan dengan bulir rumput juga. Sehingga serangan burungnya juga. Jadi tanam sorgum, kalau ikut anjuran pemangku adat, dia punya risiko serangan burung kecil.

 

Penanaman serentak akan meminimalisir serangan hama burung. “Salah satu faktor itu, orang mulai tidak tanam karena hama burung. Dulu kalender adat tanam serentak dalam satu hari, serangan burungnya juga berkurang karena serentak”, lanjutnya.

 

Dikatakan, hasil dari bertani sorgum lebih menguntungkan dibanding dengan hasil bertani padi. Pasalnya, sorgum tidak membutuhkan air yang banyak, dan perawatan yang intens.

 

“Hasil satu hektar padi dibandingkan dengan satu hektar sorgum. Padi tidak sampai satu ton. Urus sorgum itu, memang tidak se-ribet seperti tanaman padi. Karena sudah persiapkan lahan terlebih dahulu. Biaya perawatan tidak ada, tidak ada penyemprotan – penyemprotan”, terangnya.

 

Selama tahun 1990-an, penanaman sorgum sudah berkurang. Terutama 10 tahun terakhir, petani sorgum menurun drastis. Dari 258 Kepala Keluarga petani di Desa Keliha, hanya sekitar 50 KK yang menanam. Termasuk luas lahan yang ditanami sorgum sampai tersisa 30 persen.

 

“Hasilnya mungkin hanya bertahan satu dua bulan saja, yang budidaya juga hanya sekedar saja, bukan seperti dulu lagi yang fokusnya ke situ saja. Tetapi sekarang pekerjaan sudah semakin mengembang, ada yang rumput laut, tetapi masih tanam sorgum. Ada yang tanam padi, tetapi juga berbarengan dengan sorgum”, lanjutnya.

 

Dalam keluarga dengan penganut kepercayaan Jingitiu, sorgum menjadi wajib tersedia untuk kebutuhan ritual adat. “Kalau di rumah Jingitiu tidak boleh putus sorgum. Untuk tolak bala yang mengganggu tanaman”, ujarnya.

 

Dia berharap pemerintah membantu petani dengan peralatan pagar dan penertiban ternak. Dimana masyarakat Sabu Timur dan Sabu Tengah memiliki kebiasaan menanam dalam pagar.

 

“Ternak dulu diperhatikan, ketika ternak ditertibkan semua tanaman aman, kita bisa tanam dengan bebas”, pungkasnya.

 

Selain itu, pemerintah diharapkan dapat mengambil kebijakan untuk mengganti bantuan pangan dengan pangan lokal sesuai kondisi wilayah.  

 

“Dengan adanya bantuan pemerintah juga membuat orang tidak mau bekerja. Ada yang bilang begini, kapan bantuan pemerintah cair, beras sudah tidak ada. Apalagi ada program pemerintah, sembako, PKH dan lain – lain. Orang tambah cuek saja dengan pekerjaan”, harapnya.

 

Pemerintah juga dapat membantu petani dengan bibit sorgum dan pendampingan. “Kita relasi dengan pemerintah desa untuk pengadaan bibit, makanya tahun lalu itu desa pengadaan bibit. Tahun ini pasti kami lestarikan lagi, supaya produk –produk itu tetap ada”, akunya. (R-1/Adv-Kerjasama YSI)