Pakan Penentu Keberhasilan Beternak Babi, Pemerintah Diminta Perhatikan Peternak di Desa Eimadake

Yohana Djo Rate dengan Latar Kegiatan Kelompok Dhei Ta Pe Kaddi

Menia, Pelopor9.com – Keuntungan dan keberhasilan dari beternak babi sangat bergantung pada ketersediaan dan manajemen pemberian pakan. Selain itu, jenis babi yang dipelihara menjadi salah satu faktor yang perlu diperhatikan.

 

Hal itu disampaikan, Yohana Djo Rate (52), warga RT.10/ RW.05 Dusun 3, Desa Eimadake, Kecamatan Sabu Tengah, Kabupaten Sabu Raijua, Sabtu (07/09/24).

 

Menurutnya, terdapat perbedaan konsumsi pakan antara babi turunan lokal dengan babi pedaging. Babi turunan lokal dapat dengan mudah beradaptasi dengan berbagai jenis makanan.

 

Sedang, babi pedaging seperti Yorkshire, Landrace, dan Hampshire lebih menyukai pakan pabrikan. Meskipun dilakukan adaptasi pakan, namun sulit diterapkan.

 

“Babi pedaging butuh pakan dengan nilai banyak, makan banyak begitu. Kalau babi campuran makan apa adanya”, ujar anggota Organisasi Masyarakat Basis (OMB) Dhei Ta Pe Kaddi Desa Eimadake binaan Yayasan Sheep Indonesia (YSI) ini.

 

Perbedaan menonjol antara babi pedaging dan babi turunan lokal adalah pada tingkat konsumsi pakan dan pertambahan bobot tubuh. Namun, tidak ada perbedaan harga jual kiloan.

 

“Beda banyak juga, pasti yang pedang itu lebih besar dan harga juga besar. kalau ditimbang itu sama dia punya harga. Harga timbangan itu sama”,pungkasnya.

 

Dikatakan, keunggulan lain dari babi turunan lokal adalah memiliki daya tahan terhadap serangan penyakit seperti virus ASF.

 

“Di kelompok kita belajar biosecurity nya, sebelum dikasih makan, kandangnya dibersihkan. Setelah dibersihkan, kita semprot disinfektan”, terangnya.

 

Agar peternak babi untung, kata dia, maka hal utama yang diperhatikan adalah pakan, seperti kecukupan pakan, komposisi nutrisi dengan campuran berbagai jenis yang tersedia di lingkungan. Supaya meminimalisir ketergantungan pakan pabrikasi.

 

“Sulitnya itu kalau kita tergantung pada pakan dari luar. Kalau babi lokal makan apa adanya. Supaya ada keuntungan harus ada campur campur pakan, kalau patokan dari pakan toko, kita rugi banyak”,pungkasnya.

 

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam mencegah penyakit adalah kebersihan kandang. Terutama dalam mencegah penyebaran virus ASF seperti mencuci tangan, mandi dan mengganti pakaian sebelum beraktifitas memberikan pakan atau membersihkan kandang.

 

“Pertama itu, harus perhatikan pakan, kedua kebersihan kandang. Kalau misal di sebelah ada babi mati, kita tidak boleh bawa daging ke rumah. Terus kalau kita makan, apa di sana, kita harus ganti kita punya pakaian. Baru kita boleh berkunjung ke kita punya kandang. Mungkin begitu, harus jaga”,ujarnya.

 

Dia berterimakasih dengan Yayasan Sheep Indonesia yang memberikan modal, pendampingan dan pembelajaran dalam beternak babi melalui Sekolah Lapang (SL). Banyak hal baru yang diperoleh kelompok selama pendampingan dari YSI terutama penanganan Virus ASF (African Swine Fever).  

 

“Sebelum kami didampingi oleh YSI, kita punya ternak itu di lepas saja. Lantai nya itu harus beton, dia punya dinding tidak harus beton. Saling menukar pendapat begitu, banyak hal yang dipelajari di kelompok”, terangnya.

 

Lanjutnya, babi dewasa dapat menghabiskan pakan 3-4 kg per hari. “Sebelum ada kelompok SL ternak, memang belum ada ini, setelah itu baru kita belajar – belajar dari SL”, katanya.

 

Melalui pendampingan yayasan juga, kelompok belajar membuat pakan fermentasi, mencegah penyakit, pengolahan daging babi menjadi produk yang bernilai ekonomis seperti Sei dan bakso, dan pemasaran.

 

Pakan fermentasi diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pakan pabrikan, meminimalisir pengeluaran pakan.

 

“Lebih untungnya itu buat bakso. Untung juga kalau jual anakan, kalau indukannya bagus, Kalau lambat produksi kita rugi juga. Penggemukan 6 bulan bisa panen, kalau lewat dari 6 bulan kita jual les (kiloan)”,lanjutnya.

 

Beternak dengan tujuan pembibitan, diperhadapkan pada resiko telat bunting. Dimana berdampak konsumsi pakan. Sedang petani tradisional terlambat bunting belum dilihat sebagai kerugian.

 

“Resiko penyakit sama – sama. Siklus Birahi 21 hari, lama bunting 114 hari. Harus memperhatikan tanda birahi, kalau tidak rugi pakan. Kalau kelewatan tanda birahi tidak dianggap rugi”, ujarnya lagi.

 

Dia berharap kepada pemerintah dapat membina dan membekali peternak di Desa Eimadake dan peternak seluruh Sabu Raijua dengan berbagai pengetahuan terkait ternak, dan modal serta pengadaan bibit ternak yang berkualitas.

 

Mempertahankan babi turunan lokal dengan tubuh lebih kecil, konsumsi pakan sedikit sehingga peternak lebih hemat, disukai pasar karena harga lebih murah karena ukuran kecil.

 

“Kasi dibekali dengan ilmu dulu cara memelihara babi dengan baik, baru bantuan ternak. Ternak apa saja”,ujarnya.

 

Anggota kelompok juga beternak ternak lain seperti Sapi, Kambing, Kuda dan Kerbau. Namun, beternak dengan risiko dan perawatan minimum adalah ternak kambing.

 

“Paling berhasil kambing, beta (Saya) hidup dari hasil kambing. Tetap dikontrol begitu. Bawa daun daun”, harapnya.

 

Pemerintah juga diminta memfasilitasi penyediaan dan pengolah pakan yang berkualitas dan murah dengan menggalakkan produksi pakan dan kebijakan penertiban ternak agar produksi pakan dan pangan lebih maksimal.

 

Babi lokal adalah hasil domestikasi dari babi hutan yang tersebar di pulau Timor, Hingga Sabu Raijua dengan ciri berwarna hitam atau belang hitam, Kepala kecil dengan moncong runcing, Telinga pendek-tegak, Perut hampir menyusur tanah. (R-1/*Adv-Yayasan Sheep Indonesia)