Foto Bersama: Kiri – Kanan, Gusti Brewon, Dominggus Elcid Li, Yus El Tari, Ketua MUI NTT, Abdul Kadir Makarim, Peter A. Rohi (kelima), anggota DPRD NTT, Winston Rondo, aktivis perempuan NTT, DR Lanny Koroh, Lurah LLBK Mambo Rihi. Foto: Dok. 2017.
Tugu HAM Kebanggaan Sekaligus Beban bagi Masyarakat dan Pemda Kupang
Oleh Peter A. Rohi
Kupang, Pelopor9.com - November 1945. Pertempuran Surabaya menghebat. Rakyat Surabaya melawan tentara Sekutu.
Orang Nusa Tengggara Timur (NTT) tak bisa mengelak dari pertempuran, karena itu mereka harus bergabung dalam kesatuan2 laskar yang spontanitas terbentuk.
Pulang kampung tak ada kapal, menyingkir ke pedalaman bisa dianggap mata-mata, apalagi bagi orang Indonesia Timur yang tak bisa berbahasa Jawa. Maka mereka harus bertempur mati atau hidup.
Amos Pa dan anak buahnya bertahan di Ngagel. Sofia Elisabeth Sijun dan Francisca Fanggidae memimpin Laskar Putri Surabaya Utara.
Aleksander Abineno merebut kapal Jepang Sugi Maru dan dijadikan Kapal Perang RI yang pertama dengan nama Merdeka – 1. Leibahas dan Toepoe bergerak di pantai utara Surabaya. Andre Therik memimpin pasukan Penataran Angkatan Laut.
Sebagian lagi bergabung dengan pemuda kampong di sektor masing - masing. Banyak yang tewas, dimakamkan begitu saja sebagai pahlawan tidak dikenal.
Kabar tentang mendaratnya tentara Sekutu di Kupang, membuat beberapa pemuda memutuskan untuk mencari jalan kembali ke Kupang untuk mempertahankan kampung halamannya. Max Rihi memimpin mereka.
Benar juga, di Kupang tentara Australia sebagai bagian dari tentara Sekutu sudah menduduki Kupang. Mereka membawa serta orang Indonesia eks tahanan Boven Digul yang pada awal Perang Pasific diungsikan ke Australia.
Max Rihi dan teman2nya menggelorakan para pemuda Kupang. Suasana makin memanas karena pemuda akan merampas persenjataan Jepang untuk mengusir Sekutu.
Maka pemerintahan kota antara lain, I.H Doko berinisiatif menjemput Ketua Dewan Raja-raja Timor, Hendrik Koroh di Baun untuk berunding dengan para pemuda.
Disepakatilah jalan tengah. Jalan menuju Benteng didirikan Tugu Four Fredooms, empat kemerdekaan sebagai peringatan pada tentara Sekutu agar mereka harus menghargai kebebasan dan kemerdekaan masyarakat Kota Kupang. Letak Tugu harus di jalan masuk Benteng Concordia agar bisa jelas dibaca tentara Sekutu.
Maka itulah kini, di hadapan kita berdirilah sebuah Tugu Hak Asasi Manusia (HAM) atau biasa disebut Tugu Pancasila di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Tugu ini merupakan sebuah perjuangan diplomasi dan merupakan satu-satunya tugu HAM di Indonesia, bahkan pertama di dunia. Warga Kota Kupang biasa menyebutnya Tugu Selam karena terletak persis di ujung jembatan Selam, Kupang.
Tugu HAM atau Tugu Pancasila ini lebih dahulu didirikan dari sebelum The Universal Declaration of Human Rights oleh PBB pada 10 Desember 1948.
Artinya masyarakat Kupang telah melakukannya 3 tahun lebih dahulu. Sebagaimana kita ketahui isi dari 30 pasal Declaration of Human Right itu adalah penjabaran dari empat kemerdekaan itu.
Poin-poinnya adalah Freedom From Fear (bebas dari rasa takut), Freedom From Want (bebas dari kekurangan), Freedom of worship (bebas beribadat), Freedom of speech (bebas berbicara).
Sedangkan pada bagian barat sebuah prasasti berisi pernyataan Sumpah Pemuda tahun 1928, yaitu, 1). Satu Bangsa, 2). Satu Bahasa, 3). Satu Bendera, 4). Satu Tanah Air, 5). Satu Lagu Kebangsaan.
Setelah penyerahan kedaulatan, Max Rihi yang pada saat itu menjabat Kepala Pekerjaan Umum Daerah meliputi, Pulau Timor, Alor, Rote, Sabu dan Kisar melakukan renovasi terhadap tugu HAM dengan menambahkan lima lingkaran yang berisi lima butir Pancasila pada tugu tersebut.
Lima lingkaran itu bertuliskan lima Sila Pancasila dalam bentuk ejaan lama yaitu, Ke-Tuhanan Jang Maha Esa, Peri-Kamanusiaan, Kebangsaan, Kerakjatan dan Keadilan Sosial.
"Saya ingat setiap kali Bung Karno datang ke Kupang, beliau selalu meletakkan karangan bunga",ujar Peter, usai perenungan hari HAM 10 Desember 2017 silam.
Tiap tahun anak-anak sekolah berbaris ke Tugu itu dan para pemimpin meletakkan karangan bunga di situ. Juga Wakil Presiden Bung Hatta dan beberapa Pejabat Negara dari Pusat.
Jenderal A.H. Nasution yang berkunjung ke Kupang tahun 1961 juga meletakkan karangan bunga di situ.
Pada tahun 1965 tulisan Four Fredooms itu ditutup dengan cat hitam, dan baru dibuka kembali tahun 1985 oleh A.S Therik. Maka masyarakat sekarang bisa menghayati kembali makna Tugu ini.
Selain bersejarah bagi masyarakat Kupang, sekaligus merupakan beban. Dengan begitu masyarakat dan Pemda dituntut memiliki kepedulian pada prinsip - prinsip HAM sebagaimana tercantum dalam empat kemerdekan di tugu ini. (R-1)